Teologi Keberagamaan Pluralisme Liberatif

Jumat, 30 November 2007

Oleh Saeful Anwar

“Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka’bah?....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun pabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuannya terarah hanya pada satu tujuan.”
[Jalaludin Rumi]

AGAMA adalah obyek perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk didiskusikan sepanjang zaman, rentangan waktu dari hal-hal yang berbau mitos hingga dimana sains mendominasi dalam berbagai hal. Hal ini di sebabkan karena fungsi dan peran agama yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di satu sisi menjadi pedoman kehidupan, perdamaian, dan tuntunan moralitas demi keselamatan baik individu maupun social secara universal. Akan tetapi, di sisi lain agama sering menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan atau chaos bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Di samping itu, fenomena dan fakta yang terjadi di lapangan, agama sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan. Maksudnya; perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Adanya truth claim; pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh menyimpang dari kebenaran diluar dari golonganya, agamanya, keyakinannya dan dicap sesat atau murtad (orang yang keluar dari agama), sedangkan yang menurut mereka benar adalah apa yang jalani menurut keyakinannya. Seperti apa yang dikemukakan oleh kelompok konservatif garis keras yang menolak fakta pluralisme, yang terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu tentu saja berbahaya karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan keagamaan.

Pada konteks ini tejadi klaim kebenaran (truth claim) secara eksklusif, dimana kelompok yang memiliki keabsahan karakteristik beragama seperti ini, keabsahan teologinya ada pada nya, dan keselamatan (salvation claim) hanya ada dan menjadi milik mereka pula. Memperhatikan tanggapan pesimisme Wilson terhadap keberagamaan seperti itu sesungguhnya merupakan kritik keras dan peringatan terhadap peranan semua agama. Bahwasanya dalam setiap agama pasti ada penganut yang memiliki potensi negatif dan destruktif yang membahayakan, yang mengancam pada tingkat kekacauan (chaos). Sungguh sangat ironis ketika agama sudah hilang semangat kemanusiaannya dalam suatu peradaban maka ia akan tampil sebagai instrumen yang dapat menhancurkan peradaban maka sudah pasti ia akan tampil sebagai instrumen yang menghancurkan manusia dan peradabannya. Munculkan klaim kebenaran dan penafsiran agama itu juga menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan menggunakan standar ganda (double Standards) kebenaran. Maksudnya baik orang Islam ataupun non Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, biasanya standar yang bersifat ideal dan normative untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis.

Paradigma Keberagamaan
Penafsiran dan keberagamaan, pada dasarnya muncul sesuai dengan tingkat pengetahuan, lingkungan sosial dan kultural, serta keyakinan yang dibawanya sejak dari kecil (agama orang tua). Hingga dewasa ini, paradigma keberagamaan umat manusia umumnya bisa ditipologikan menjadi tiga golongan.

Pertama, paradigma eksklusif, pandangan yang dominan ada pada kalangan ini, adalah bahwa agama merekalah yang menjadi satu-satunya jalan keselamatan, sedangkan agama lain semuanya menuai kesalahan. Bagi agama Kristiani, pandangan ini menganggap bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keselamatan. “akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” , sehingga muncullah perumusan istilah extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar Gereja) yang pernah dikukuhkan dalam Konsili Florence 1442. Sedangkan bagi kalangan Islam, landasan teologisnya adalah penafsiran secara tekstual pada ayat-ayat Al Quran tentang kebenaran tunggal agama Islam. “sesungguhnya agama (al-din) disisi Allah adalah Islam” dan ada ayat lain yang memperkuat ayat ini berbunyi “barang siapa mencari agama selain Islam, maka (agama itu) sekali-kali tidak akan diterima dari Dia, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi” Implikasi sosial dari pandangan-pandangan tersebut adalah tertutupnya pintu dialog dan kerja sama antar agama. Bahkan, bisa jadi keragaman pemikiran dalam agama sejenis tertutupi oleh dominasi sekelompok paham. Pluralisme adalah pondasi dalam membangun masyarakat demokratis, bukan paham yang merusak agama atau anti agama, yang merupakan statement bagi para penentang paham pluralisme yaitu kaum Tradisional, fundamentalis dan konservatisme yang selama ini mereka teriakan.

Kedua, paradigma inklusif, menurut kalangan ini agama-agama itu pada dasarnya semuanya berasal dari Yang Satu. Sedangkan perbedaan agama, hanyalah jalan menuju ke Yang Satu dengan mereka, seluruhnya ditulis oleh Allah Ta’ala bahwa menyesuaikan diri dengan pembawa, kaum penerima, bahasa, serta lingkungan geografis. Menurut pandangan Umar Sulaiman Al-asyqar, seorang sarjana Muslim yang berdomisili di Kuwait, memaparkan pandangaannya tentang kesatuan agama menegaskan bahwa agama yang diturunkan Allah kepada Nabi dan rasul adalah satu, yaitu Islam. Islam bukan nama untuk satu agama tertentu, tetapi adalah nama yang didakwahkan oleh semua nabi. Senada dengan apa yang dikatakan Nurcholish Madjid. “ Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah dalam (Q 3:85 dan Q 3:19) tidaklah khusus tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka nabi Muhammad s.a.w diutus, melainkan hal ini merupakan suatu hokum umum (hukm amm, ketentuan universal) tentang manusia masalau dan manusia kemudian hari. Kesemuanya itu mengisyaratkan adanya titik temu agama-agama ini harus dijadikan sarana untuk membuka diri atau bersimpati terhadap kebenaran agama orang lain. Kalau Allah menghendaki, maka umat manusia itu menganut satu agama saja, tetapi Allah menciptakan beragam agama, agar bisa menguji siapa yang paling baik amalnya, yang diharuskan adalah berlomba-lomba dalam kebajikan (Fatabikhul khairat)

Ketiga, paradigma pluralis atau paralel. Menurut kalangan ini, setiap agama pada dasarnya berbeda dan mempunyai jalan keselamatan sendiri. Namun ada persamaan yang senantiasa ada, yaitu nilai-nilai perenial agama yang mengajarkan tentang kebaikan, perdamaian, melarang kejahatan, serta tolong-menolong dengan orang lain. Tokoh paradigma ini adalah John Harwood Hicks (1973) yang melakukan revolusi dalam teologi agama-agama. Menurut dia, teologi agama-agama harus senantiasa diperbarui guna menyesuaikan diri dengan pengetahuan manusia dan perkembangan zaman. Paradigma baru itu adalah dialog dan kerja sama antaragama untuk menciptakan kemanusiaan universal dan keselamatan sosial demi perdamaian di muka Bumi. Metafor yang mengukuhkan paradigma pluralisme agama adalah pelangi. Maksudnya, pada dasarnya semua agama mempunyai warna dasar yang sama, yaitu warna putih. Akan tetapi, warna ini sering tidak terlihat dari warna luarnya yang berupa hijau, biru , kuning, dan sebagainya, yang sebetulnya menyimpan warna putih juga (baca-Kristen, Budha, Islam, dan sebagainya). Warna dasar pelangi inilah yang dalam agama dinamakan sebagai "agama primordial" atau "nilai perenial".

Oleh karena itu, perbedaan agama pada kalangan ini diterima sebagai pertimbangan dalam prioritas "perumusan iman" dan "pengalaman iman". (Islam Pluralis, hal. 49-50). Sama apa yang dirumuskan oleh Sayyid Hossein Nasr, setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut. Sikap pluralis bisa diterima jika seandainya perbedaan antara Kristen dengan Islam diletakan dalam posisi yang lebih penting diantara keduannya. Islam mendahulukan perumusan iman, dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sedangkan dalam ke Kristenan mendahulukan pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akal Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan pada sakramen Misa dan Ekaristi) dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis melalui Trinitas.
Ketiga tipologi paradigma keberagamaan di atas bukanlah hal yang kaku dan tetap. Akan tetapi, semuanya adalah persoalan pilihan kehidupan dan keyakinan. Apa yang kita anggap sesuai dengan keyakinan kita tentang konsepsi teologi tanpa menjustifikasi penganut lain yang tidak sepaham. Hal itu menjadi masalah tersendiri, ketika realitas sosial dan masyarakat yang ada menunjukkan fakta yang berbeda dengan keyakinannya. Artinya, paradigma keberagamaan itu bisa mengganggu orang lain dan kurang memberikan manfaat pada tatanan sosial yang ideal.
Fakta dan keniscayaan pluralisme

Pluralitas adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada pluralitas agama, budaya, latar belakang pendidikan, ras dan suku, serta kesenangan bahkan jalan hidup masing-masing manusia. Pluralitas atau keragaman berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, intropeksi diri, dan tolong-menolong.

Keragaman di atas pada awalnya memang tidak menimbulkan persoalan atau gejolak sosial. Mari kita lihat apa yang yang merjadi konflik di Indonesia akhir-akhir ini, dimana konflik merebak dengan mengusung bendera agama dan ras, kalau kita menelaahnya sesungguhnya konflik tersebut berawal dari factor social, ekonomi, dan politik seperti kerusuhan bernuansa SARA menewaskan ribuan manusia seperti kerusuhan Ambon, timor-timur, Sambas dan lainnya adalah sebagian dari daftar panjang kerusuhan yang terjadi karena dilator belakangi oleh konflik agama. kerusuhan masaal yang terjadi tahun 1998 dimana ratusan gereja dan tempat usaha etnis China dibakar, dirusak dan dijarah, bahkan yang tidak manusiawi anak-anaknya diperkosa bahkan ada yang sampai dibunuh.

Seperti yang terjadi baru-baru ini adanya bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama yang berjuang menegakan ajaran Tuhan dimuka bumi Pada dasarnya apayang dilakukan adalah hal yang bodoh kerena islam tidak mengajarkan kekerasan. Paradigma keber-Agamaan seperti itu patut dikatakan keliru karena agama diturunkan dari Tuhan untuk kepentingan manusia, bukan dari Tuhan untuk kepentingan Tuhan, dan bukan pula dari manusia untuk Tuhan. Melainkn dalam hal ini Tuhan berposisi sebagai sumber spirit moral. Dari Nya manusia berasal, kepadanya pula manusia akan kembali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup didunia. Agama pada dasarnya bersifat kemanusiaan tetapi bukan berarti kemanusiaan yang berdiri sendiri melainkan kemanusiaan yang memancarkan dari wujud Tuhan. oleh sebab itu, sebagaimana nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan maka nilai keagamaan mustahil menentang nilai kemanusiaan.

Yang menjadi kecurigaan; jangan-jangan ada kekuatan lain yang menggerakannya sehingga yang muncul adalah konflik yang dibangun seakan-akan bermuatan SARA. Karena mereka sering dibarengi dengan keinginan untuk menguasai, (social, politik dan ekonomi) meminjam istilah Nietzsche - will to power -, sering menjadikan mereka menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara adalah naluri hewaniah manusia yang sering muncul ke permukaan. Padahal, ada sebuah nilai keluhuran manusia berupa akal sehat dan hati nurani yang harus senantiasa dipertimbangkan ketika melakukan sebuah tindakan.
Nilai keluhuran dan kemanusiaan itu ketika diperhadapkan dengan realitas pluralitas, adalah sebuah sikap yang menghargai perbedaan disertai dengan kearifan menerima dan mengakui kebenaran orang lain. Dalam keberagamaan, sikap ini mewujud dalam implementasi paradigma pluralisme agama sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, dalam realitas pluralitas yang terbentang di hadapan kita, sebuah sikap pluralis dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Amin Abdullah (1999), realitas pluralitas agama yang belum berlanjut pada pluralisme keagamaan itu, disebabkan oleh adanya hegemoni kepentingan dan egoisitas pada sekelompok orang atau golongan tertentu. Tindakan dan kepentingan itu juga sering mereka justifikasi dengan landasan teks-teks keagamaan.

Anehnya, penafsiran teks keagamaan itu sering mereka lakukan secara terpisah dengan realitas sosial yang terbentang di permukaan. Padahal, untuk menciptakan sebuah pluralisme keagamaan meniscayakan penafsiran yang mengompromikan antara aspek historisitas dan normativitas teks keagamaan (baca-kontekstualisasi).

Pandangan pluralisme yang dimaksudkan di sini bukan berarti mencampuradukkan atau membuat "gado-gado" agama, atau dalam istilah lain disebut sinkretisme yaitu pandangan yang mencampuradukan semua agama atau menjalankan ajaran semua agama sekaligus karena semuannya dianggap memberikan keselamatan (Jalaludin Rakhmat) ;namun justru penghargaan dan penggalian nilai-nilai kebenaran universal agama untuk kebaikan bersama. Seperti ditegaskan oleh Alwi Shihab, bahwa pluralisme bukanlah relativisme an sich, namun juga menekankan adanya komitmen yang kukuh pada agama masing-masing dan membuka diri atau bersifat empati terhadap kebenaran agama lainnya (Islam Inklusif, Mizan, 1997). Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah sikap untuk menjunjung tinggi kebaikan bersama dan menghindari klaim tunggal kebenaran. karena setiap pemeluk agama lain terdapat keselamatan.
Pluralisme keagamaan dan praksis sosial

Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Maka, pernyataan Gregory Baum (1999) yang menyatakan bahwa kebenaran agama terletak pada komitmen solidaritas dan visi emansipatoris, sangatlah relevan. Bila agama tidak menunjukkan kedua hal itu lewat penafsiran dan perilaku pemeluknya, maka lambat laun agama pasti menjadi komoditi yang tidak laku di pasaran. Bahkan akan sampai pada pembunuhan nilai-nilai spiritual seperti yang terjadi akhir-akhir ini dimana agama dikambing hitamkan penyebab berbagai konflik horizontal. Jika seorang pemeluk agama bentrok dengan pemeluk agama lain akan dianggap sebagai “sebuah tindakan melawan kezaliman” sedangkan jika orang yang berada di agama lain akan berpikiran sebaliknya.
Oleh karena itu, pluralisme keagamaan haruslah juga menghadapkan dirinya dengan problem kemanusiaan kontemporer. Maksudnya, teologi pluralis haruslah mempunyai tujuan spesifik untuk membebaskan kesengsaraan dan penderitaan umat. Hal tersebut bisa dilakukan, jika para agamawan dan umat beragama mengembangkan - meminjam istilah Erich Fromm - keberagamaan yang humanistik. Artinya, mereka senantiasa peduli, peka, dan mempunyai komitmen terhadap penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Kepedulian dan kepekaan ini, menurut Paulo Freire, akan terwujud jika mereka memiliki kesadaran kritis dalam melihat setiap kejadian dan permasalahan.
Bila teologi pluralis itu tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek ilmu pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirubuhkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993). Maka, teologi pluralis sudah selayaknya mempunyai dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.
Sebab, jika tidak dilakukan, teologi itu justru bisa dimanfaatkan oleh sekelompok agamawan guna melanggengkan status quo kekuasaan dan pemberangusan kritisisme masyarakat seperti yang terjadi menimpa umat Islam sekarang dimana hanya tunduk pada titah sang Kyai yang hanya mendasarkan agama secara tekstual tradisional, sehingga santrinya didorong dipaksa bersikap taklid terhadap keyakinan baik secara teologis maupun dalam tataran praksis.
Sekedar Penutup
Akhirnya, keberagamaan pluralis adalah sebuah agenda pekerjaan mendesak yang membentang di hadapan kita. Mengingat, banyak problem-problem ekonomi, politik, sosial, keamanan, dan kemanusiaan lainnya yang tidak lekas terselesaikan akibat ketidakseriusan sebagian orang. Maka, kaum agamawan dan umat beragama hendaknya memelopori sebuah praksis sosial yang berwujud pada kesadaran kritis dan keterlibatan pada upaya demokratisasi dan pengentasan krisis terutama krisis berfikir. Apa yang kita harapkan adalah munculnya pandangan-pandangan keagamaan yang lebih progresif, inklusif, dan kesaling pengertian antar agama, yang telah menjadi obsesi cultural maupun teologis kita di Indonesia.
*****
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat. Jakarta: Kompas, 2002.
Akbar S Ahmed. Postmodernisme and Islam, Terjemahan Afif Muhammad. Mizan, Bandung, 1998.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Bandung: 1999.
Bulletin Kebebasan. Edisi 01,02,03 dan 04. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Jakarta; 2006
Jurnal Emanasi, edisi 01, Lembaga Kajian dan Penulisan UIN SGD Bandung, 2001
John Hickk, God and the Universe of Faiths, One World Publications Oxford, i993
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keislaman, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet 3
Madjid, Nurcholish. Pluralisme di Indonesia, jurnal Ulumul Qur’an, No 03, Vol VI i995
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997
Muhammad, Afif. Islam Mazhab Masa depan: Menuju Islam Non-Sekterian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998
Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Pluralisme; Nurcholish Madjid. Paramadina; Jakarta 2007
Rachman, Budhy Munawar. Pluralisme dan Masalah Teologi Agama-agama, 1999
Osman, Fathi. Islam, Pluralisme dan Toleransi keagamaan. Dalam pandangan al-Qur’an, kemanusiaan, sejarah, dan peradaban. Paramadina; Jakarta 2006
Schoun, frithjop. Mengenai jejak-jejak agama abadi (Sur Les traces de la Religion perenne) diterbitkan pada tahun 1982
Schoun, frithjop. Mencari titik temu Agama-agama, terj, Safroedir bahar dari judul asli, The Transenden Unity of Religion, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.
Read more!

ANAKKU, PRIA SIMPANANKU

Kamis, 29 November 2007

Ratna, harus hamil tanpa seorang suami. Orangtuanya yang kaya dan dihormati, harus memikul rasa malu, akibat kecerobohan anaknnya. Padahal mereka telah menjodohkannya dengan seorang pria, anak dari temannya. Keluarga pria menerima perjodohan tersebut, walaupun dalam kondisi hamil. Namun keduanya sepakat, untuk menunda pernikahannya, disamping menunggu kelahiran si cabang bayi.
Akhirnya Ratna melahirkan, ia pun pingsan akibat kelelahan. Namun si jabang bayi lahir dalam kondisi sehat dengan berjenis kelamin laki-laki. Pada saat itu, kedua orangtuanya mengambil si bayi, tanpa sepengetahuannya, dan menyerahkan bayi itu kepada saudaranya agar dirawat.

Ratna pun mulai membuka kedua matanya, menatap sekitarnya, dan membalas senyuman orangtuanya, yang tersenyum bahagia akan kondisi Ratna yang mulai membaik. Luput dari perhatian itu, ia pun bertanya akan kondisi anak yang ia lahirkan.
“Bagaimana keadaan anakku bu”? Tanyanya.
“Anakmu tidak terselamatkan dan meninggal, sewaktu dilahirkan”. Jawab ibunya.
Tidak terlihat keceriahan di wajah Ratna. Ia lebih banyak berdiam diri, meneteskan airmata, sedih akan musibah yang menimpa anaknya. Setelah menikah, orangtuanya menganjurkan untuk tinggal diluar negeri. Dengan harapan kesedihannya dapat terobati. Duapuluh tahun lamanya, akhirnya keduanya kembali ke Indonesia.
Andi telah tumbuh dewasa, menjadi anak yang baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia tinggal bersama orangtua asuh, yang ia kenal sebagai orang tua kandungnya. Hari-harinya digunakan untuk berjualan, memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang pas-pasan. Disamping itu pun ia harus membagi waktunya untuk menggapai cita-cita dan karirnya.
Sedangkan Ratna yang biasa hidup bebas, mulai kesepian dengan kesendiriannya, suaminya yang bekerja hingga larut malam, tidak bisa menemaninya terlalu lama. Sehingga ia pun bosan, mencari suasana untuk mengobati kesendiriannya, berkumpul bersama teman-teman seusiannya.
Suatu ketika, Andi harus mengahadapi masalah yang sangat besar. Penyakit ayahnya mulai kambuh dan harus dioprasi. Untuk itu, ia harus mencari uang yang cukup besar jumlahnya, untuk biaya oprasi. Andi merasa bingung, hendak kemana ia menari uang yang begitu besar dalam waktu yang sangat singkat. Akhirnya ia mengambil inisiatif untuk menemui temannya, yang selalu membantunya dalam kondisi seperti itu. Disamping itu, ia tahu bahwa temannya Aldy sangat mudah mendapatkan uang yang besar jumlahnya dalam waktu yang sangat singkat.
Andi bertemu dengan Aldy, mencoba menanyakan tentang pekerjaan, dan menjelaskan untuk apa ia butuh pekerjaan. Aldy pun menjelaskan mengenai pekerjaannya sebagai gigolo “lelaki penghibur”, yang pada akhirnya Andi pun menjadi terjerumus. Karena dengan itu, ia berpikir dapat menghasilkan uang yang banyak, tanpa waktu yang lama.
Dalam sebuah arisan, Andi dipertemukan dengan tante-tante “Ratna” yang tiada buka adalah ibu kandungnya sendiri. Keduanya pun tidur bersama-sama dalam satu kamar, di sebuah hotel, mengerjakan sesuatu, seperti layaknya suami istri. Hampir setiap minggu mereka bertemu, melakukan apa yang seperti biasa mereka lakukan.
Suatu ketika nenek sekaligus orang tua Ratna, mengunjungi saudaranya yang mengasuh dan membesarkan Andi. Dan bermaksud mempertemukan Andi dan ibu kandungnya “Ratna”. Keduanya pun (Andi dan Ratna) diundang di sebuah hotel, tanpa diberitahukan apa maksud dari undangan itu.
Setelah keduanya datang, disamping keluarganya yang lain, Andi dan Ratna kaget, saat keduanya duduk berhadapan. Andi teroma, saat orangtua asuhnya mengatakan bahwa Ratna adalah ibu kandungnya. Andi keluar, menangis sambil menjerit seperti menyesali sesuatu. Tak bisa memaafkan dirinya, Andi bunuh diri, melompat dari atas hotel. Sedangkan ibunya “Ratna” menjadi gila.
Read more!

He heh......

[kumispheditox]

Bahasa senyuman?! Kayanya selintas tak terfikirkan istilah itu ke dalam benak kita. Yaa, itulah bahasa senyuman: tentang makna hidup dan kehidupan bijak. Mengapa orang jarang melakukan hal itu? Karena sering senyuman itu dilekatkan pada orang yang tidak normal. Justru senyuman punya banyak makna.
Pertama, ia bisa menyapa orang lain. Senyuman tak usah membutuhkan tangan: sebab dalam melambai senyuman menjadi punya banyak makna yang beda. Ia cukup murah: ia membuat kebaikan hanya dengan dirinya sendiri, bibir. Emang ada gitu senyuman yang pake pantat? Ada. Apa? Kentut. Itu bukan senyuman tapi sapa. He heh....tapi bukankah senyuman puka makna juga menyapa? Ya, tapi persoalannya bukan begitu. Bayangin kalo nyapa pake pantat. Kayaknya celana punya lobang tiga ‘kan. Ah ribetttt.

Kedua, ia bisa mengendalikan emosi, baik yang disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Bahkan ia adalah penangkal egois. Senyum bisa membuat orang marah jadi serba salah. Sekaligus membuat orang berdosa: ya, senyum bisa bikin orang jadi salah sangka.
Ketiga, ia bisa bikin awet muda: periang dan punya mimik yang cerah.
Keempat, ia dapat menarik respon sopan dari orang lain.
Kelima, mengatupkan bibir bisa dikatakan anti-sosial, namun bibir menganga adalah mempertontonkan aib: bukankah yang menempel di gigi adalah manifestasi dari prosentase maruk-rasuknya manusia?. Singkatnya, senyuman mampu memperlihatkan separuh diri kita.
Read more!

RUTINITAS

Malam terasa sunyi. Alunan lagu telah berhenti, mulai dari Fuck The Sistemnya-SOD sampai Naha Salah-nya Doel Sumbang. Jari-jari tangan menekan aneka hurup membentuk kata. Kata merangkai dengan kata menjadi kalimat. Kalimat saling menyusun menjadi bahasa. Bahasa demikian kita menyebutnya adalah media dimana jiwa dunia menjadi tak bernyawa. Tapi dengannya makna bukan lah hanya rasa. Ia adalah suara, bunyi, tanda bagi manusia. Mungkin dengannya manusia bisa menghadapi, memahami menjalani hidup di dunia.
Scientific social Qura’ani, adalah sebagaian kata dari satu judul tulisan yang secara tiba-tiba mengingatkanku pada perjalanan selama ini mengeluti berbagai buku. Seperti tamu yang datang tak diundang sebersit gagasan terlintas di kepala.
Sudah lama kertas kuning tipis itu berada di atas tempat tidur. Sering terlihat tapi tak pernah bermakna lebih selain sebagai sebuah buku yang membuat kamar tidur “pabalatak”berantakan dan aut-autan. Membuat kasur tak dapat dipakai merebahkan badan, tidur. Menjadikan suasana ruangan tak nyaman. Membuat pemandangan tak sedap dilihat.

Tapi saat itu alangkah berbeda sekali. Tak jelas apanya yang beda. Ketika bukunya masih itu juga, ketika matanya masih ini juga, ketika ruangannya bertempat di situ juga, bahkan mungkin ketika letaknya masih seperti itu juga, segala sesuatunya menjadi lain.
Itulah barangkali yang disebut dengan ketersingkapan. Sebuah hal berbeda yang sama sekali muncul dari sasuatu yang masih itu-itu juga. Itu juga barangkali yang disebut perubahan makna. Buku tipis yang asalnya bermakna sebagai sesuatu yang hanya sebagai setumpuk kertas bertuliskan Scientific social Qura’ani berubah menjadi sesuatu yang membuat aku ingat dan kemudian punya keinginan besar untuk diperjuangkan. Bahkan aku menjadi tahu juga dengannya apa yang menjadi orientasiku ke depan dalam belajar.
Asburditas, itulah istilah yang aku ingat ketika berkaitan dengan apa yang dialami saat ini. Rutinitas adalah sebuah kenyataan yang memenjarakan manusia dari kesadaran akan pluralitas makna hidup di dunia. Sebuah jebakan sehingga manusia tak dapat memahami hidupnya di dunia secara utuh. Adalah tak aneh kalau bahwasanya dalam hal berikut situasinya yang berbeda kita mempunyai makna lain, kesadaran lain dan perasaan yang lain. Tapi dalam rutinitas tak semua di antara kita bisa memaknai dan menyadari satu hal dengan situasinya dan kondisinya yang berbeda sebagai sesuatu yang lain, sehingga kesadaran dan maknanya juga lain. Padahal hidup, dalam hal yang di isinya, dalam waktu yang direngganya, dalam ruang yang ditempatnya,sesutu senantiasa akan terus menjadi yang lain. Sesuatu senantiasa baru, kata mas Gun.
Tapi apakah setiap orang bisa keluar dari rutinitas seperti itu. Jawabannya adalah ya dan tidak. Bagi seseorang ya, dan bagi yang lain mungkin tidak. Barangkali rutinitas yang seperti itulah yang dimasudkan Camus sebagai absurditas. Sebuah perjalanan hidup ketika mengalami dan menjalani hal yang sama tetapi tidak mendapat makna yang berbeda.
Karena rutinias sendiri adalah suatu keniscayan dalam hidup maka sia-sialah kita berkeinginan untuk mengelak darinya. Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah menyelaminya. Kita hidup didalamnya dengan sebuah sikap untuk senatiasa sadar dan membuka diri terhadap apa yang hadir di dalamnya. Kita senantiasa terjaga dengan tidak membiarkan mata batin tertutup sehingga yang beda akan kelihatan beda walaupun itu mutlak dalam hal yang sama. Karena Sesuatu itu adalah beda maka yang sama-sama sebanaranya hanyalah anggapan kita yang sudah mendarah daging ketika menganggap sesuatu yang sama adalah sebagai sama. Padahal sekali lagi bahwa yang sama itu adalah beda. Tak ada yang sama. Semuanya adalah beda.
Keluar dari absurditas bagiku adalah hidup dalam rutinitas dengan makna, kesadaran, jiwa dan diri yang berbeda. Saya adalah saya, yang dari sejak dilahirkan sampai sekarang adalah sesuatu yang berbeda, walaupun tak jarang pada saat tertentu serasa diri ini adalah itu-itu juga. Saya adalah saya yang sekarang, bukan saya dulu apalagi yang akan datang.

Sancang, 02-05-07
Read more!

BETAPA MEMUAKKAN

Di samping jalan, berdiri sebuah warung yang hampir menyerupai toko. Halaman depannya hampir berbatasan dengan trotoar. Tak jelas barang khusus apa yang dijual karena sebanarnya tempat itu selain bukan kawasan untuk jualan ada begitu banyak barang, sangat beraneka ragam. Ketaraturan tempat bukan sebuah permasalahan. Dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini segala hal menjadi lumrah, seolah-olah tidak salah. Asalkan ada tempat untuk menyimpan barang, maka itu pun boleh lah. Yang terpenting adalah bagaimana bisa menyambung hidup. Soal tata letak ataupun seabrek aturan lainya yang ditetapkan oleh perda setempat adalah hal yang tak harus diutamakan. Melanggar atau tidak bukan lagi menjadi persoalan. Lebih mustahil lagi kalau mempertimbangankan kenyaman pengguna jalan. Tak tampak secara jelas siapa yang benar dan siapa yang harus disalahkan.

Pada suatu ketika, karena tidak ada uang receh untuk membayar ongkos angkot, aku membeli sebungkus kopi di sebuah toko di jalan Soekarno Hata. Dengan harapan agar ada uang receh untuk membayar ongkos angkot dengan uang pas. Mengapa membeli sambil menukarkan receh, karena aku berpikir bahwa kalau bukan uang pas biasanya sang supir suka menarip harga seenaknya. Akibatnya uang kembalianya seenak dewenya. Akan lebih baik kalau dibelikan kopi dari pada dimakan orang lain, sementara dalam hati sendiri tidak rela.

Dasar lacur, apa yang terjadi, harga kopi yang biasanya paling mahal 600-,/bks, di toko tersebut dijual seharga 750-, perbungkus. Karena membelinya dua bungkus, jumlah totalnya menjadi 1.750-,. Kalau dipersentasekan penjual tersebut mendapatkan untung sebesar 50% , kalau dari harga asalnya sekitar 500-,. Padahal di beberapa toko lain harga perbungkus bisa lebih murah dengan harga Rp. 500-. Aslinya, di agen paling-paling seharga Rp. 400-.
Akhirnya, aku betapa kecewa dan sebalnya terhadap orang yang anjing itu. Dasar orang goblok, dasar orang bodoh, dasar manusia binatang, dasar..dasar...dasar!. Tapi, sebentar kemudian, aku berpikir, buat apa kesal, toh itu sudah terjadi. Kalau disesalkan malahan hati akan semakin sakit, bukannya membaik,pikirku terbersit. Aku berapologi, walaupun dalam hati, untuk mengobati rasa sakit.

Sebenarnya, kalau dipikirkan kembali ternyata dari kejadian tersebut ada banyak pelajaran yang bermakna. Dalam situasi pahit sekarang ini, orang bisa saja tak peduli apa yang dilakukannya. Apakah hal tersebut merugikan orang lain atau tidak. Baginya, tindakan apa saja boleh. Standar baik dan buruk tidak lagi diperhitungkan, apakah dampaknya terhadap diri sendiri atau bagi orang lain. Yang penting adalah bagiku,,, bagiku dan bagiku. Hanya bagiku.

Dalam sebuah Negara yang sedang dililit kesusahan, Indonesia misalnya, kejahatan dalam berbagai bentuknya adalah hal yang lumrah terjadi dalam apa saja dan dimana-mana. Ditambah, kondisi mental yang buruk serta kesadaran yang dangkal akibat pembodohan dan pembiusan media, kondisi kehidupan seolah-olah tak pernah jauh dari peradaban.

Pada sisi lain, pikiran negativeku terhadap sang supir adalah pertanda betapa kepercayaan hari ini menjadi suatu hal yang asing dan langka.Oh, betapa muaknya kondisi sekarang ini!

Oh syetan dan iblis, bukan dirimu yang membuat manusia berbuat kehinaan yang melebihi bintang [kalau diasumsikan bahwa bintang adalah makhluk rendah]. Tapi, manusialah yang menciptakan kalian. Kitalah manusia yang menciptakan syetan dan iblis. Atau kitalah yang memaksa syetan dan iblis untuk menggoda untuk berbuat tidak manusiawi.

Kitalah, aku dan kalian semuanya yang telah dengan sengaja atau tidak telah mengisi kehidupan ini penuh dengan kebokbrokan. Maaf kami, oh wahai syetan dan iblis yang telah memfitnah kalian sebagai sumber dan penebar kejahatan di alam semesta yang luas nan indah ini. Sebenarsnya kamilah yang melakukan itu semua. Tapi kami tak sadar. Sekali lagi maafkan.
Read more!

Libido II

Hidup penuh dengan misteri untuk dimengerti. Ada hal-hal nyata dan terasa. Tapi anehnya tak masuk logika. Kadangkala jelas dialami tapi susah untuk mengerti. Bahasa yang tersusun dari kata seakan-akan tak dapat mewakili apa yang ada dalam alam nyata.

Sek adalah salah satu dari sekian banyak kenyataan di dunia yang umum dialami oleh setiap makhluk, termasuk manusia. Keinginan untuk bersetubuh nyata ada dalam setiap keinginan yang mempunyai jiwa. Merangsang, adalah perasaan yang susah untuk dihilangkan. Akan selalu hadir. Nikmat dan sengsara bercampur menjadi satu. Sulit disebut apa nama rasanya.

Barang kali salah satunya, pada titik ini hidup adalah unik. Penuh dengan rahasia, tapi nyata. Ketika melihat tubuh yang seksi lawan jenis rasa penasaran menyergap masuk ke dalam kepala. Lamunanpun spontan melayang-layang tak tahu kemana. Berbagai pormasi layaknya dalam strategi sepakbola tercipta. Sambil duduk, berdiri, atau kaya adengan anjing gila pun ada.

Ada yang cukup aneh dalam kasus melihat tayangan sek. Melihat adegan porno tepatnya. Entah apa apa namanya, tapi yang jelas ketika melihat itu semua perasaan nikmat. Tegangan emosi pun naik tak tahu ukurannya. Bentuk tubuh dan adegan-adegan persetubuhan seolah-olah membawa kekuatan supra ajaib. Akibatnya, tak disadari air libido pun keluar tak terasa.

Yang jelas hidup ini penuh dengan teka-teki. Tapi bukan untuk ditakuti. Melainkan hanya untuk dijalani, dinikmati dan dihayati. Tak ada yang salah dalam hidup ini. Semuanya adalah karunia ilahi.
Read more!

Bercermin

Satu kali dalam seumur hidup, kita pasti pernah bercermin. Apalagi yang dirumahnya ada kaca cermin paling tidak setiap kali akan berangkat kerja pada waktu pagi misalnya pasti akan bercermin. Tanpa ada kaca cermin bukan berarti tidak pernah bercermin. Untuk bercermin bisa digunakan berbagai media. Air bening pun bisa menjadi alat bercermin, seperti dalam cerita-cerita Ko ping kho, ketika seorang wanita dara remaja yang ingin melihat wajahnya yang konon jantik jelita. Kalau sadar, cerita orang lain mengenai diri kita juga adalah cermin.
Berbicara tentang cermin pasti akan berkaitan dengan bayangan sesuatu yang dicerminkan. Sesuatu itu bisa kita atau bukan kita, benda misalnya. Sesuatu yang dicerminkan oleh alat bercermin disebut sebagai bayangan, suatu gambaran yang memiliki kesamaan tapi tidak persis sama dari apa yang sebenarnya.

Bercermin dalam kehidupan sekarang ini, ketika manusia sudah bisa menciptakan semua hal yang diperlukan adalah suatu perbuatan yang biasa. Sayangnya, bercermin tidak mempunyai makna lebih selain melihat nilai estetisnya sesuatu yang dicerminkan. Bercermin seperti itu barngkali adalah kegiatan yang kurang memiliki makna esensial dalam laitannya dengan lehidupan.
Padahal, dengan bercermin kita seharusnya sadar paling tidak bahwa kita adalah setidaknya apa yang ada di dalam cermin. Di sisi lain. Zaman sekarang ini kita pun celakanya lebih yakin atas gambaran kita menurut apa yang ada dalam cermin ketimbang diri kita sendiri yang sehari-hari dialami.
Sekarang ini, kita lupa bahwa dibalik kegiatan bercermin ada makna=makna lain yang bisa jadi sebelumnya terhijab karena kita terlalu memfoluskan bercermin hanya untuk melihat estetisnya sesuatu saja. Padahal, dalam bercermin kita akan melihat siapa kita, seperti apa kita bahkan apa yang telah terjadi dalam diri kita. Dalam bercermin kita seharusnya sadar apa yang telah kita lakukan dan apa yang harus dilaksanakan.
Tentu saja untuk itu semua sarat yang utama adalah bahwa dalam bercermin kita mau tidak mau harus berani jujur terhadap diri sendiri serta kenyataan. Seperti halnya kaca cermin yang tak pernah bohong atau memanifulasi dalam menampilkan bagiamana wajah kita walaupun tidak sebenarnya.
Bercermin adalah satu titik momen yang dapat membawa kita untuk senantiasa berubah dan berubah. Berubah kearah yang lebih sempurna, sebagaimana tujuan dan harapan awal kita ketika hendak bercermin.
Read more!

SANG TAK TERDEFENISIKAN DAN SI YANG SELALU INGIN BERTANYA

TUHAN rasanya adalah suatu kata yang sulit didefenisikan, dengan rangkaian kata-katanya, lewat bahasa. Mungkin, halnya kata cinta, sulit sekali menerangkannya lewat jasa penalaran logika. Terlalu rahasia untuk dibuka lewat bantuan observasi fakta. Walaupun sulit, tapi anehnya, ia masih diimani manusia. Konon, manusia lebih percaya kepada ada-Nya ketimbang akan hidupnya di dunia. Aku sendiri pun begitu sangat merasakan betapa dekat kehadirannya di tengah luasnya alam semesta ketika aku sedang semendalam meragukan-Nya, atau bahkan menolak-Nya.
Mungkin, pembicaraan akan keberadaannya sama dengan usia manusia. Semenjak ia ada di alam semesta sampai sekarang, ketika manusia sudah mampu keluar dari bumi yang didiaminya.

Ketika Tuhan menjadi titik sentral kehidupan, kita pun sebagai manusia yang salah satu ciri utamanya adalah hasrat ingin tahu acapkali bertanya dalam hati nurani, sejauh manakah kepercayaan kita kepada-Nya. Atas alasan apa kita masih mempercayai-Nya? Mungkinkah hidup tanpa tuhan? Kalau ia ada, sebenarnya apakah Ia itu? Apakah benar kita diciptakan oleh-Nya, yang menurut ajaran Islam bahannya berasal dari Tanah, di mana manusia yang pertama adalah Adam kemudian Hawa sebagai pasangannya?
Konon katanya, Tuhan adalah satu-satunya yang “ada”, selain ia tidak ada. Lalu dengan kekuasaannya, ia menciptakan alam semesta, entah apa tujuannya. Kemudian setelah itu ia menciptakan manusia sebagai penghuni dan sekaligus sebagai pemimpin atas semua makhluk yang ada di dalamnya. Konon juga, hanya dalam enam hari Tuhan menciptakan alam semesta dengan sangat rapih dan teratur. Ia berkata bahwa tak ada satupun ciptaan-Nya yang sia-sia, dari hal kecil hingga hal besar di luar jangkuan manusia.
Para theolog yang seringkali diposisikan sebagai penyambung lidah Tuhan mengatakan bahwa manusia sebagai wakilnya adalah seorang hamba yang mempunyai kewajiban untuk mentaathinya dalam setiap denyutan nadi dan hembusan nafas. Lalu kita pun bertanya apakah mungkin manusia sebagai mahluk dengan kemampuan daya ciptanya yang dahsyat, dimana baru-baru ini bentuk bayi pun bisa diatur semenjak dalam kandungan ibunya hanya sebagai budak belaka. Kalau benar Tuhan adalah maha kuasa lalu untuk apa aku berbakti kepadanya, tokh dia mampu melakukan segala hal, dia tidak membutuhkan apapun. Dimanakan posisi kemampuan manusia disamping-Nya. Bingung harus menjawabnya.
Apakah sampai sekarang harus tetap begini? Tidak tahu, tidak ada jaminan juga bahwa jawaban yang ada sekarang pun betul-betul benar.
Banyak para saintis dengan ketakjubannya atas alam semesta memberikan argumen atas keberadaan tuhan. Tapi itu semua adalah apologi-apologi belaka yang tidak berdasarkan fakta, walaupun mereka berbicara fakta. Benar kita tahu bahwa api panas berdasarkan pengalaman. Tapi pengalaman kita pun tak menunjukan bahwa apa yang menyebabkan api panas ada karena tuhan. Begitu juga penalaran logika telah banyak membetulkan keberadaan tuhan dengan alasan-alasan yang rasional. Tapi yang ironisnya, peneguhan pun sama imbangnya dengan penolakan. Apa yang dihasilkan akal tidak menjamin diyakini oleh semua orang atau sesuai dengan faktanya. Makin bingung. Adakah sesuatu yang sangat kuat untuk dijadikan pijakan dasar bagi kepercayaan kita kepada Tuhan sekarang?
Ini akan semakin menarik dam semakin membingungkan ketika kita membicarakannya dengan mengunakan wacana ilmu-ilmu kontemporer yang ada. Namun, tokh tanpa wacana itupun nada dan iramanya tetap sama. Antara ada-tidak, percaya-tidak, kuat-tidak. Dan akhirnya,keduanya hanyalah interpretasi-interpretasi spekulatif belaka.
Yang jelas, bagi kalangan tertentu,aku misalnya tanpa adanya kepercayaan kepada tuhan sebagai tempat berawal dan berakhir tak akan dapat hidup. Kalaupun bisa hidup terasa kosong.
Mungkin untuk bertuhan tidak akan pernah membutuhkan alasan.
Saya tidak tahu apakah tidak mungkin benar juga apa yang dikatakan teman. Kira-kira seperti ini;Kita beragama karena mungkin saja nanti sesudah mati surga itu ada. Neraka itu nyata.

Sancang, 27 September 2005
Read more!

MENULIS

Pada akhirnya, kita harus berani jujur terhadap diri sendiri, untuk apa menulis, menungkan gagasan demi gagasan, menghabiskan waktu untuk menyusun kata-kata menjadi kalimat bermakna, dipahami manusia?

Menulis buku kering penuh dengan teori-teori untuk apa itu? Menulis tentang renungan pribadi atas penomena yang dilihat mata untuk apa itu? Menulis cerita pendek, puisi, atau sajak untuk apa itu? Untuk orang lain. Untuk orang lain, untuk apa itu? Kadang aku sendiri berpikir bahwa cerpen hanyalah sebuah tulisan penuh hayalan. Puisi dan sajak hanyalah tangisan hati dan kecengengan sang penulis. Sebenarnya, untuk apa, cerpent, piusi, atau sajak Itu? Dan terakhir untuk apa mempertanyakan itu?


Kalau selama ini dengan menulis orang bisa terkenal, tapi untuk apa terkenal itu? Apakah penulis-penulis besar sendiri mengharapkan itu? Nietzscehe, misalnya sebagai salah seorang penulis sastra mutkhir hari ini, apakah ketika ia menulis ada niat ingin dikenal orang lain? Begitu juga, dengan menulis, orang bisa mendapatkan kekayaan. Tapi, apakah benar secara mutlak bahwa untuk mendapatkan uang salah satu caranya adalah dengan menulis? Bukan kah sering terjadi bahwa penulis tidak berkhir dengan duduk di atas kursi mewah nan megah, tetapi diatas kursi listrik dalam sebuah ruang ruang penjara.Untuk memberikan cermin kepada orang lain agar mereka menghargai hidup dengan menjalaninya secara baik dan benar. Tapi, apakah penulis sendiri telah mengahargai hidup dengan brbuat sepeti itu? Bukan kah banyak yang mengajarkan kabaikan dan kebenaran sementara hidupnya sendiripun berantakan dan kacau-kacau?

Mungkin, menulis tak memiliki nilai apa-apa selain untuk menghargai diri sendiri, dengan berubah ke arah yang lebih positif. Untuk mempermudah itu, terkadang orang yang lemah ingatan barangkali dengan menulis dapat membantu mengingat kembali serpihan-serpihan hidupnya agar mudah untuk perbaiki. Untuk memaknai hidup untuk merubah hidup ke arah yang lebih positif, untuk menghargai hidup agar lebih bermakna, menulis bukanlah satu-satunya jalan, menulis hanyalah salah satu alternatif saja.

Barangkali alasan praktis untuk apa menulis adalah untuk mengimpormasikan sesuatu yang belum diketahui atau menjelaskan sesuatu yang masih samar dan tersembunyi. Untuk itu pula lah menulis akan sedikit bermakna dalam hidup.

Lebih jauh, menulis hanyalah bernilai apabila menulis menjadi salah satu media untuk menyampaikan kebenaran. Kalau ada yang salah, apapun bentuknya, maka ungkapkanlah dengan menulis apa yang sesungguhnya benar. Karena kebenaran mutlak milik bersama, bukan hanya milik satu orang saja sehingga ketika ia tahu maka ada kewajiban memberi tahu kepada yang tidak tahu. Orang yang tahu bahwa sesuatu benar dan sesuatu yang lain salah harus mengimformasikan kepada orang lain bahwa itu adalah salah dan ini benar atau sebaliknya, yang ini salah dan yang lain benar. Berangkat dari alasan itu , mungkin menulis adalah suatu kewajiban. Menulis adalah kewajiban untuk menyampaikan kebenaran.

Untuk apa kebenaran? Tak dapat disangkal bahwa kebenaran adalah syarat mutlak agar hidup memiliki arti, makna dan berharga. Adakah di dunia ini manusia yang sanggup hidup kalau seandainya kebenaran tidak ada. Adakah di dunia ini, orang yang mau melanjutkan hidup kalau seandainya hidup itu sendiri itu tidak bermakna. Bermaknanya hidup ada karena adanya kebenaran makna hidup.

Tapi, apakah sesungguhnya benar, kita ingin menjalani hidup berdasarkan kebenaran, sehingga diharapkan akan bermakna atau berharga. Jangan-jangan, hanyalah omongan saja. Pada faktanya, kita tidak pernah peduli apakah hidup kita benar, bararti, bermakna atau berharga. Jangan-jangan, selama ini kita hidup hanyalah mengikuti bagaimana hidup menghidupi, bukan kita menghidupi kehidupan. Mengikuti semboyan iklan, jangan-jangan, selama ini kita tidak menjadikan 'hidup' lebih "hidup". Tetapi kita menjadikan 'hidup' menjadi tidak "hidup". Kita hidup, tetapi tidak hidup. Bukan hidup dan hidup. Hiduplah hidup!
Read more!

TUHAN DALAM PENCARIAN MANUSIA

Pergeseran Pemikiran Manusia Tentang Tuhan
Dalam membahas tuhan terdapat dua term yang harus dibedakan. Pertama, tuhan sebagai idea, gagasan atau pemikiran manusia tentang tuhan. Kedua, tuhan dalam pengertian dirinya sendiri yang tidak diketahui oleh umat manusia. Tuhan dalam pengertian pertama adalah hasil produk imajinasi penalaran seseorang yang didasarkan pada kenyataan alam semesta sejauh yang mampu ia pahami mengenai tuhan. Mereka memberikan istilah yang bermacam-macam, antara lain manna, dewa, tuhan atau allah. Tuhan dalam pengertian kedua adalah tuhan sebagai dzat-Nya sendiri. Ia terlepas dengan seluruh dimensi manusiawi. Dipersepsi atau tidak ia tetap tuhan dan hanyalah dia yang tahu akan dirinya.

Awal mula adanya pemikiran mengenai tuhan dapat dirunut kebelakang sejak pertama kali manusia dapat berpikir. Secara umum, pemikiran tentang tuhan bermula dari konsepsi yang sangat sederhana samapai pada konsepsi yang sangat komplek dimana tuhan telah dipahami sangat abstrak. Dari pemahaman zaman kuno sampai dewasa ini abad kontemporer. Tahap-tahap ini tidak harus selamanya dipahami dalam pengertian periode zaman, tetapi akan lebih tepat kalau dipahami dalam pengertian taraf pemikiran umat manusia. Dewasa ini di daerah-daerah tertentu walaupun abad kontemporer masih ada kelompok yang masih bertuhan secara primitif. Corak pemahaman tentang tuhan lebih banyak ditentukan pada kemajuan pemikiran seseorang dalam zaman tertentu. Karena taraf berpikirnya sudah maju bisa jadi seseorang yang hidup ribuan tahun sebelum kita, memiliki konsepsi ketuhanan yang lebih abstrak dan rumit sebagaimana tuhan yang dipahami sekarang.
Pergeseran pemikiran tentang ketuhanan melewati tiga tahap; animist, dinamist dan monoteist. Tahap Monoteist terbagi pada deis, theis dan pholyteis.
Pada tahap animist manusia memahami tuhan sebagai kekuatan yang bersemayam dibalik benda-benda, umpamanya tuhan adalah kekuatan yang ada dibalik lautan. Mereka menyebutnya dengan istilah manna. Pada tahap ini manusia sudah dapat merasakan akan kekuatan diluar dirinya akan tetapi ia belum mampu mengkonsepsikan dalam bentuk tertentu. Tuhan dalam tahap ini adalah tuhan sebagai sebuah konsepsi yang kabur. Pada tahap dinamist, umat manusia sudah dapat memberikan suatu penafsiran seperti apa tuhan itu. mereka sudah dapat membuat symbol-simbol. Pada tahap ini tuhan sudah dipahami sebagai suatu kekuatan yang ada dalam benda-benda tertentu, umpanya dewi kesuburan dalam padi. Pada tahap ini tuhan tidak hanya satu tetapi banyak. Setiap tuhan memiliki kekhususan kekuatan tertentu, misalnya tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan dalam paham zoroaster. Selain tuhan bersifat banyak, paham ketuhanan dalam tahap ini berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain. Konsepsi tuhan dalam daerah tertentu akan berbeda dengan daerah lain. Dalam perkembangan selanjutnya, suatu masyarakat menyatukan tuhan dalam suatu khirarkhi ketuhanan dengan adanya satu tuhan yang tertinggi. Paham ketuhanan semacam ini dapat kita temukan dalam system keprcayaan yunani kuno. Zeus adalah tuhan tertinggi yang dibawahnya terdapat tuhan-tuhan yang memiliki tugas-tugas tertentu. Atau dalam ajaran agama Hindu yang menjelaskan bahwa tuhan tertinggi adalah tuhan atau dewa Rama. pada tahap terakhir, tahap monoteis tuhan telah dipahami dalam konsep yang sangat abstrak. Tuhan adalah sesuatu yang menciptakan alam semesta. ia tidak dapat diumpakan dalam simboil-simbol tertentu ia juga melampaui manusia. Ia adalah satu, maha sempurna dan tak terbatas. Adanya tak tergantung pada keberadaan manusia.
Tuhan pada tahap monoteis dipahami dalam tiga bentuk: pertama, dalam pemahaman deisme. Dalam paham ini tuhan adalah adalah pencipta dan tidak mengatur alam semesta. Seluruh peristiwa yang terjadi di dunia ditentukan oleh hukum alam sebagai suatu aturan yang tuhan ciptakan bersamaan dengan alam. Dalam kehidupan sekarang tuhan tidak pernah ikut campur. Kedua, dalam pemahaman teisme. Teisme mengajarkan bahwa tuhan adalah pencipta dan pengatur alam semesta. Tuhan hadir dalam kehidupan di dunia. Tak ada sesuatu pun yang terlepas dari kekuasaannya. Manusia tergantung pada tuhan. Dengan kata lain teisme adalah kebalikan dari deisme. Ketiga. Dalam paham pholyteisme. Dalam paham ini tuhan bukan sesuatu yang berada dibalik alam semesta. Akan tetapi tuhan adalah alam semsesta itu sendiri, tuhan adalah alam dan alam adalah tuhan. Alam dalam pengertian sebagai sebuah keseluruhan bukan sebagai bahagian sehingga dapat disimbolkan dalam bentuk tertentu, misalnya patung atau berhala dalam kepercayaan arab kuno atau jahiliah.
Walaupun dari tahap animis sampai monoteis tuhan telah mengalami pergeseran pemaknaan, ada satu benang merah yang dapat ditarik sebagai konsepsi umum yang terdapat pada masing masing paham, yaitu tuhan adalah realitas tertinggi. Realitas tertinggi akan selalu dipahami berbeda-beda tergantung manusia yang mengkonsepsikan-Nya dengan konteks sosial yang membentuk. Mungkin system ajaran ketuhanan dimasa yang akan akan lebih komplek, rumit dan sangat abstrak. Yang jelas gagasan tentang tuhan akan senantiasa ada terus mengalami perubahan, sejauh manusia mempercayainya. Tuhan pada dirinya hanyalah Ia yang tahu, Wallahu a’llam.

Motivasi Untuk Bertuhan
Terdapat berbagai analisa yang mecoba menjelaskan sehubungan dengan kecendrungan seseorang untuk mempercayai adanya realitas tertinggi yang pada umunya diistilahkan dengan tuhan. Analisa ini sesuai dengan kerangka pengetahuan ilmiah dewasa ini, yaitu paradigama positivistik lebih banyak didasarkan pada peilaku seseorang yang mempercayai-nya, khususnya dari perspektif ilmu psikologiy. Tidak bisa dinafikan bahwa konteks sosial masyarakat tertentu akan sangat berpengaruh pada motivasi seseorang dalam meyakini keberadaan tuhan dan pengkonsepsiaan-Nya.
Dalam pendekatan psikologis adanya harapan kebahagiaan dan rasa takut menjadi factor utama mengapa seseorang mempercayai tuhan. Ketika seseorang merasa takut pada suatu objek dari luar dirinya, ia cendrung untuk mencari dan berlindung pada suatu kekuatan yang lebih kuat dan kuasa dari sesuatu yang ia takuti. Karena tuhan adalah dzat yang maha kuasa dan sempurna sebagaimana diajarkan oleh setiap agama, maka seseorang menemukan perlindungan bagi dirinya dalam diri tuhan. Selain adanya ketakutan dari luar, bisa jadi seseorang mempercayai adanya tuhan karena ia takut akan mendapatkan siksaan yang menyedihkan di kehidupan mendatang bagi orang yang menolok tuhan (kafir) dan berbuat maksiat. Demikian juga, ketika seseorang dalam kehidupan di dunia banyak mengalami berbagai penderitaan sehingga kehidupan adalah siksaan dan kenistaan akan dapat memunculkan suatu harapan baru bahwa dibalik kehidupan dunia ini ada suatu dunia yang memberikan kebahagiaan mutlak, yaitu Syurga dalam ajaran Islam atau Syurga maniloka dalam tradisi wayang golek. Walaupun di dunia ini ada kebahagian yang terdapat dalam berbagai bentuk, seperti kekayaaan, kekuasaan dan perkawinan, namun semua itu adalah fana dan menifu. Dunia dengan pernik-pernik kehidupan baginya adalah ujian untuk mencapai kesempuranaan yang abadi.
Selain dua factor diatas, bagi kalangan tertentu, kebutuhan akan nilai-nilai spiritual telah mengakibatkan seseorang percaya pada adanya tuhan. Bisa jadi dari sisi ekonomi, ia adalah orang yang kaya raya atau memiliki kekuasaan yang sangat berpengaruh. Dengan kata lain, dalam kehidupan di dunia ia mendapatkan kebahagian yang sempurna. Akan tetapi, ia tetap merasa ada yang kurang dalam dirinya. Konon, dalam tradisi Islam ada seorang tokoh terkemuka sufi yang bernama Ibrahim bin Adham. Ia adalah saudagar kaya raya, berpengaruh, memiliki keimanan yang sangat tinggi dan tha’at dalam mengerjakan praktek-praktek keagamaan. Sekarang ini di beberapa negara maju sedang berkembang lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan bimgbingan spritual. Atau ada beberapa ilmuan yang beralih haluan dari dunia keilmuan yang empirik-rasional masuk dunia tarekat yang sarat dengan spritual dan mistik.

Argument Keberadaan Tuhan
Apakah benar bahwa untuk percaya kepada tuhan dibutuhkan argument. Jawaban atas pertanyaan ini bisa ya dan juga bisa tidak. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita tidak membutuhkan alasan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Bahkan ada beberapa masalah ketika diberikan rasionalisasinya hal tersebut menjadi dangkal dan kabur. Dalam kehidupan sehari-hari juga ada beberapa tindakan yang harus diawali dengan alasan dan ada beberapa hal lain yang harus diawali dengan hanya ikhlas melaksanakan kemudian baru argumentasi yang jelas dan logis. Masalah tentang ketuhanan dan praktek keagamaan biasanya didasarkan pada hal-hal semacam ini.
Pada dasarnya argument penalaran dibutuhkan untuk memutuskan atau menghilangkan keraguan antara ya dan tidak. Suatu argument penalaran diperuntukan untuk keyakinan diri sendiri dan agar orang lain percaya. Sebetulnya, argument tentang keberadaan tuhan lebih banyak dimaksudkan agar orang lain percaya dan yakin bahwa tuhan itu betul-betul ada. Bagi orang-orang tertentu (khususnya orang yang memilki pengetahuan terbatas) untuk percaya kepada tuhan bisa saja hanya cukup mendengar bahwa tuhan itu ada, merasakan keberdaaannya dengan hati dan merasakan kemanfaatan atas berbagai dampak positif dari beberpa ajaran tertentu dalam sebuah agama, misalnya ibadah berderma.
Dalam kajian filsafat agama terdapat beberapa argumentasi untuk membuktikan adanya tuhan; argument ontologis, kosmologis, theleologis dan moral. Kelima argumentasi ini intinya hanya tiga argumentasi; argumentasi sebab-akibat, theleologis dan moral. Argumtasi ontologis dan kosmologis masuk dalam kategori dalil sebab-akibat karena mendasarkan penalarannya pada hukum sebab-akibat.
Argumentasi yang mendasarkan penalarannya pada hukum sebab-akibat pertama kali kemukan oleh Saint anselmust dan dikembangkan pada abad pertengangahan oleh S.T Thomas Aquinas dengan menggunakan cara berpikir Aristoteles. Dalam dunia muslim argumentasi semacam ini dikembangkan pula oleh al-Kindi, al-Farabi dan Ibn-Sina. Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa adanya sesuatu pasti ada yang menjadi penyebabnya. Ada akibat pasti ada sebab. Adanya kehidupan menjadi bukti nyata akan adanya tuhan. Adanya gagasan tentang sesatu yang sempurna dalam setiap pemikiran umat manusia tentu ada dzat yang betul-betul ada sempurna yang menyebabkannya ada dalam setiap orang. tidak mungkin manusia yang tidak sempurna memiliki ide kesempurnan. Pasti dzat yang sempurnalah yang mengakibatkan kita memiliki idea kesempurnaan.
Argumentasi theleologis mendasarkan penalarannya pada keharmonian alam. Alam adalah suatu kenyataan yang tersusun secara sempurna. Ia ditata dengan rancangan yang sangat ketat, didasarkan atas hukum-hukum yang sangat pasti dan suatu perhitungan yang sangat tepat. Dengan demikian tata tertib dan kemajuan dalam alam menunjukan suatu akal dan maksud yang iamnent. Tujuan dari ketertiban alam semesta ini adalah rencana tuhan itu sendiri. Argumentasi moral lebih banyak disenangi orang karena penjelsannya langsung pada ranah psikologis. Alam telah membuat manusia takjub. Dan dengan perasaan inilah manusia akan mudah meyakini akan adanya tuhan sebagai seseuatu yang maha takjub.

Argument moral secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut; kalau pada manusia dalam dirinya sendiri ada perintah untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi keburukan yang pada pada dasarnya betul-betul timbul dari dorongan diri sendiri bukan hasil dari pengalaman maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang tahu akan baik dan buruk. Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Adanya nilai dalam setiap diri manusia mengandung arti adanya pencipta nilai. Dzat pencipta nilai inilah yang disebut dengan tuhan

Bantahan Dan Argument Kaum Atheis
Berangkat dari asumsi bahwa setiap penalaran selalu memiliki sisi-sisi untuk dikritik, argument tentang keberadaan tuhan memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat mengakibatkan gugurnya seluruh upaya pendasaran rasional atas keberadaan tuhan. Kelemahan-kelemahan itu adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam argumentasi-argumentasi yang mendasarkan pada hukum sebab-akibat terdapat dua kelemahan. Pertama, hukum sebab-akibat adalah suatu hukum yang hanya didasarkan pada kepercayaan belaka, animall paith. Hukum sebab-akibat bukan suatu hukum yang didasarkan pada fakta bahwa satu benda menjadi sebab bagi perubahan benda lain. Betul bahwa tangan terasa panas setelah api menyentuh, tapi bukan api yang menyentuh tangan akan mengakibatkan tangan menjadi panas. Yang terjadi sebenarnya hanyalah kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain. Kedekatan tersebut kemudian diidentikan dengan suatu keyakinan bahwa satu peristiwa mengakibatrkan perubahan pada peristiwa lain. Kedua, kalau seandainya hukum sebab-akibat adalah benar, pertanyayaannya adalah apa alasan bahwa sebab terakhir itu adalah tuhan. Bisa saja kita menginterpretasikan bahwa sebab terakhir dari materi adalah materi, bukan selain materi. Dengan demikian pernyatan bahwa sebab terakhir dari materi adalah tuhan adalah penyimpulan yang terlalu dipaksakan karena menafikan konklusi-konklusi lain.
Kedua, dalam argumentasi moral sebagaimana dikemukakan oleh Imanuel kant, norma-norma moral tidak harus menunjukan akan adanya tuhan. Kant mengatkan bahwa eksistensi tuhan adalah postulat dari kehidupan moral; yakni tuhan harus ada jika tata moral harus dipahami. Selain kritik kant sendiri, kritik lain yang muncul adalah seumpamanya nilai-nilai moral itu diakui, nilai-nilai tersebut dapat dijelaskan dengan kebutuhan dan kemauan-kemauan manusia atau dengan susunan watak manusia dan masyarakat.
Ketiga, dalam argumentsi theleologis ada dua kritikan yang sangat tajam. Pertama, bukankah dalam alam semseta ini ada kejahatan. Kedua, apa alasan bahwa keteraturan alam itu mengharuskan adanya pencipta yang sangat teliti sehingga terciptanya alam semesta yang sangat tertata secara rapih. Bisa saja alam tercipta dari suatu materi yang sekaligus mengandung hukum-hukum di dalamnya, salah satunya adalah harmonisasi.

Jawaban Otoritatif: Iman
Dari argumentasi serta bantahan-bantahan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa penolakan akan adanya tuhan sama kuatnya dengan argumentasi yang menyatakan adanya tuhan. Bahkan penolakan akan adanya tuhan lebih kuat dari pernyatana adanya tuhan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah keberadaan tuhan dapat dibuktikan dengan akal atau tidak. Kalau tidak, lantas apakah semua yang tidak dapat dipertangguh jawabkan secara rasional itu mengindentikan bahwa pernyataan adanya tuhan adalah bohong belaka. Dengan kata lain tuhan itu tidak ada karena tidak ada alasan raional yang dapat membuktikan.
Terlepas dari apakah akal dapat membuktikan adanya tuhan atau tidak, bagi kalangan yang mempercayai adanya tuhan iman adalah solusi yang tepat untuk mempertahankan akan adanya tuhan. Iman pada awalnya diterima secara dogmatic tanpa alasan apapun, taken for oriented. Iman adalah fondasi dasar bagi seseorang untuk mempercayai adanya tuhan. Akan tetapi iman saja tidak cukup karena iman perlu penghayatan dan pemaknaan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian iman butuh rasionalisasi untuk dapat dipahami apa sesungguhnya iman kepada tuhan itu.


DAFTAR FUSTAKA
Karen Armstrong; Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung
Helmi Umam; Dance Of God, Aviron, Jogjakarta
Harun Nasution; Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta
Lois.O. Kattosof; Pengantar Filsafat., Tiara Wacana, Jogjakarta
Harold. H. Titus, Marylin S. Smith dan Ricard T. Nolan; Living Issues In Philosophy, terjemahan H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta
Read more!

Adakah dan Bagaimana

Proses perjalanan sejarah umat manusia hidup di alam semesta sangat unik. Ruang dan waktu adalah satu parian tersendiri di dalamnya. Keduanya merupakan sesuatu dari dua hal yang tak terpisahkan dari kesatuan manusia itu sendiri dengan dunia tempatnya berdiri. Manusia tak pernah bernafas di tempat yang tak-beruang dan tak diikat sang waktu. Begitu juga dengan yang ada di luar manusia, misalnya benda-benda (baik yang bergerak seperti hewan atau tumbuhan maupun benda-benda seperti batu) hanyalah akan menjadi sesuatu yang bermakna, sejauh semuanya berkaitan atau memiliki hubungan dengan kehidupan manusia. Pada dirinya sendiri segala hal sesuatu selain manusia adalah nol. Atau barangkali chaos, yang kemudian direkayasa manusia dengan struktur keterpahamian melalui 12 kategori apriori seperti dalam konsep Kantian yang tak lain adalah untuk suatu tujuan penaklukan dari kehendak untuk berkuasa, demikian Nietzsche mengklaim. Akibatnya tercipta suatu dunia yang teratur. Atau barangkali memang seperti esensialisme modern, yang mengimani bahwa ada sesuatu dibalik sedala sesuatu. Sesuatu yang tetap dan yang tak akan pernah berubah. Seperti yang aku katakan pada kawan sekelas, bahwa esesnsialisme modern kiranya terletak pada klaim akan adanya hukum ilmiah yang berada dibalik benda dan manusia itu sendiri, misalnya.

Berangkat dari asumsi pertama bahwa makna tergantung pada manusia kiranya kesimpulan jauhnya adalah bahwa Manusia merupakan titik central kehidupan yang pada akhirnya alam semesta menjadi bermakna. Manusia adalah segala-galanya. Manusia dan hanya manusia. Pergerekan dan dinamika yang terjadi di dunia adalah implikasi dari tindakan manusia itu sendiri. Ketidak-baikan yang terjadi adalah pengaruh dari kehendak manusia. Begitu juga, Kalau kebaikan itu ada, maka semuanya dikembalikan kepada manusia.

Berangkat dari pernyataan di atas, maka pengetahuan, nilai-nilai,atau apapun juga yang memiliki keterkaitan dengan manusia, barangkali termasuk agama tak lain adalah hasil kreativitas manusia. Ini tercipta karena manusia di dunia tidak hanya sebagai objek. Tapi, plus sebagai subjek untuk dirinya sendiri. Manusia adalah subjek-objek kehidupan. Tak ada yang ada di dunia selain manusia sebagai pecipta untuk dirinya sendiri, bukan untuk yang lain. Suatu posisi yang yang sangat unik sehingga pantas kalau perbincangan manusia tak atau mungkin tidak akan pernah selesai. Barangkali inilah sebagian dari isi klaim manusia sebagai makhluk misterius. Bukan hanya karena ia beraneka ragam. Tapi posisi itulah yang menjadikannya misterius.

Dalam kenyatatan tersebut, sebagaimana dideskripsikan di atas, maka apakah kehidupan itu sebenarnya bagi manusia, ketika manusia adalah segala-galanya. Adakah nilai-nilai agung memiliki makna bagi mansuia. Atau apakah memang benar bahwa di dunia ada hal agung selain hasil manusia. Adakah dan apakah artinya nilai kebenaran, kebaikan, keadilan serta kebahagian bagi mansuia.

Jangan-jangan itu semua hanyalah omong kosong belaka. Sesuatu yang membuat manusia terlena dari fakta yang ada. Sesuatu yang kita jadikan penutup kebenaran dengan topeng kebenaran atau sebagai pelipur lara dari penderitaan atas kepahitan dunia. Kalau benar bahwa semuanya ada dan bukan merupakan hasil kreatif manusia, bagaimanakah mengetahui dan menjalaninya.

Berawal dari makhluk pertama [kalangan agamawan, Islam, Kristen dan Yahudi sepakat bahwa manusia pertama yang hidup di dunia adalah Adam dan Hawa] sungguh perjalanan manusia telah melawati ruang dan waku yang sangat panjang. Standar ukur atau hitungan waktu tidak mampu memprediksikan sudah berapa lamakah manusia hidup mengembara di alam semesta. Tak ada jawaban pasti. Sejarawan hanya bisa menyelesaikannya dengan perkiraan-perkiraan. Salah satunya adalah dengan membuat pendikotomian corak kehidupan manusia, seperti pase pra sejarah dan sejarah atau sebagainya.

Dalam proses panjang tersebut sudah tak terhitung aneka ragam peristiwa terjadi. Kekalahan dan kemenangan suatu bangsa atau penderitaan umat manusia.

Berangkat dari dua asumsi tentang manusia; manusia adalah makhluk berpikir dan berbudaya,rekaman-rekaman mengenai berbagai peristiwa disusun secara sistematis. Kemudian jadilah apa yang kita kenal sekarang dengan sejarah. Begitu juga dengan semakin meningkatnya tingkat pengetahuan manusia, ilmu terntu muncul yang khusus meneliti dan mengkaji aspek sejarah manusia. Lahirlah satu cabang ilmu sejarah.

Dalam catatan sejarah kita melihat bahwa pergolakan antara satu kelompok atau bangsa berusaha untuk mendominasi yang lain. Yang kuat dia yang menang. Sebaliknya yang lemah mereka harus dicoret dari sejarah. Pada akhirnya sejarah tak lain adalah cerita para pemenang. Kemajauan, Kemegahan atau kesejahteraan selalu didegung-dengungkan dan diceritakan kepada anak generasi penerus untuk dijadikan contoh bagaimana menajalani kehidupan masa depan. Tak jarang pada pase selanjutnya, ketika yang menang sejarah berubah. Yang kalah akan dibalik cerita faktanya, dan sebaliknya.

Kalau pada faktanya seperti itu, apakah ada kebenaran dalam sejarah. Dengan kata lain, apakaha cerita-cerita yang dimuat dalam buku sejarah adalah benar pada faktangya memang terjadi. Pada kenyataannya, adalah suatu hal yang tak dapat ditutup-tutupi bahwa kebenaran suatu peristiwa harus disumpat oleh para penguasa. Kematian adalah hal yang lumrah bagi setiap orang yang berusaha menguak kebenaran faktanya. Dengan asumsi bahwa ilmu penegtahuan adalah untuk merubah sejarah, maka apakah penelitian sejarah tak lain adalah upaya untuk merumuskan sejarah yang ingin ditegakan. Kebenaran fakta bukanlah sebagai tujuan tetapi kepentinganlah yang jadi alasan. Pada akhirnya, kita juga bisa bertanya, apakah pantas dijadikan landasan kehidupan. Yang dimaksud adalah bisakah sejarah salah satu bahan bagi umat manusia untuk merencanakan masa mendatang. Meminjam istilah agama, sejarah dijadikan ibrat'.

Kenapa ini harus dipertanyakan, sebab pada paktanya klaim-klaim yang menyatakan bahwa hal-hal agung itu ada dan bukan hasil kreatifitas manusia, tapi ada sesuatu di luar diri manusia yang menciptakannya, entah itu tuhan dalam teologi atau ada dengan sendirinya dalam paham materialisme dan naturalisme, senantiasa ada keterlibatan manusia di dalamnya. Kalau manusia adalah subjek dalam itu semua, maka apakah itu semua adalah hasil manusia itu sendiri.

Tak tahu harus menjawab apa. Hanyalah entah dan bagaimana yang aku punya. Aku kemudian berpikir bahwa jangan-jangan sebenarnya kita sedang mengarungi kehidupan hanya dengan bermodalkan satu kata, “entah”, meminjam istilah Gunawan Muhammad.
Read more!