Adakah dan Bagaimana ~ AQIDAH FILSAFAT UIN SGD BANDUNG

Adakah dan Bagaimana

Kamis, 29 November 2007

Proses perjalanan sejarah umat manusia hidup di alam semesta sangat unik. Ruang dan waktu adalah satu parian tersendiri di dalamnya. Keduanya merupakan sesuatu dari dua hal yang tak terpisahkan dari kesatuan manusia itu sendiri dengan dunia tempatnya berdiri. Manusia tak pernah bernafas di tempat yang tak-beruang dan tak diikat sang waktu. Begitu juga dengan yang ada di luar manusia, misalnya benda-benda (baik yang bergerak seperti hewan atau tumbuhan maupun benda-benda seperti batu) hanyalah akan menjadi sesuatu yang bermakna, sejauh semuanya berkaitan atau memiliki hubungan dengan kehidupan manusia. Pada dirinya sendiri segala hal sesuatu selain manusia adalah nol. Atau barangkali chaos, yang kemudian direkayasa manusia dengan struktur keterpahamian melalui 12 kategori apriori seperti dalam konsep Kantian yang tak lain adalah untuk suatu tujuan penaklukan dari kehendak untuk berkuasa, demikian Nietzsche mengklaim. Akibatnya tercipta suatu dunia yang teratur. Atau barangkali memang seperti esensialisme modern, yang mengimani bahwa ada sesuatu dibalik sedala sesuatu. Sesuatu yang tetap dan yang tak akan pernah berubah. Seperti yang aku katakan pada kawan sekelas, bahwa esesnsialisme modern kiranya terletak pada klaim akan adanya hukum ilmiah yang berada dibalik benda dan manusia itu sendiri, misalnya.

Berangkat dari asumsi pertama bahwa makna tergantung pada manusia kiranya kesimpulan jauhnya adalah bahwa Manusia merupakan titik central kehidupan yang pada akhirnya alam semesta menjadi bermakna. Manusia adalah segala-galanya. Manusia dan hanya manusia. Pergerekan dan dinamika yang terjadi di dunia adalah implikasi dari tindakan manusia itu sendiri. Ketidak-baikan yang terjadi adalah pengaruh dari kehendak manusia. Begitu juga, Kalau kebaikan itu ada, maka semuanya dikembalikan kepada manusia.

Berangkat dari pernyataan di atas, maka pengetahuan, nilai-nilai,atau apapun juga yang memiliki keterkaitan dengan manusia, barangkali termasuk agama tak lain adalah hasil kreativitas manusia. Ini tercipta karena manusia di dunia tidak hanya sebagai objek. Tapi, plus sebagai subjek untuk dirinya sendiri. Manusia adalah subjek-objek kehidupan. Tak ada yang ada di dunia selain manusia sebagai pecipta untuk dirinya sendiri, bukan untuk yang lain. Suatu posisi yang yang sangat unik sehingga pantas kalau perbincangan manusia tak atau mungkin tidak akan pernah selesai. Barangkali inilah sebagian dari isi klaim manusia sebagai makhluk misterius. Bukan hanya karena ia beraneka ragam. Tapi posisi itulah yang menjadikannya misterius.

Dalam kenyatatan tersebut, sebagaimana dideskripsikan di atas, maka apakah kehidupan itu sebenarnya bagi manusia, ketika manusia adalah segala-galanya. Adakah nilai-nilai agung memiliki makna bagi mansuia. Atau apakah memang benar bahwa di dunia ada hal agung selain hasil manusia. Adakah dan apakah artinya nilai kebenaran, kebaikan, keadilan serta kebahagian bagi mansuia.

Jangan-jangan itu semua hanyalah omong kosong belaka. Sesuatu yang membuat manusia terlena dari fakta yang ada. Sesuatu yang kita jadikan penutup kebenaran dengan topeng kebenaran atau sebagai pelipur lara dari penderitaan atas kepahitan dunia. Kalau benar bahwa semuanya ada dan bukan merupakan hasil kreatif manusia, bagaimanakah mengetahui dan menjalaninya.

Berawal dari makhluk pertama [kalangan agamawan, Islam, Kristen dan Yahudi sepakat bahwa manusia pertama yang hidup di dunia adalah Adam dan Hawa] sungguh perjalanan manusia telah melawati ruang dan waku yang sangat panjang. Standar ukur atau hitungan waktu tidak mampu memprediksikan sudah berapa lamakah manusia hidup mengembara di alam semesta. Tak ada jawaban pasti. Sejarawan hanya bisa menyelesaikannya dengan perkiraan-perkiraan. Salah satunya adalah dengan membuat pendikotomian corak kehidupan manusia, seperti pase pra sejarah dan sejarah atau sebagainya.

Dalam proses panjang tersebut sudah tak terhitung aneka ragam peristiwa terjadi. Kekalahan dan kemenangan suatu bangsa atau penderitaan umat manusia.

Berangkat dari dua asumsi tentang manusia; manusia adalah makhluk berpikir dan berbudaya,rekaman-rekaman mengenai berbagai peristiwa disusun secara sistematis. Kemudian jadilah apa yang kita kenal sekarang dengan sejarah. Begitu juga dengan semakin meningkatnya tingkat pengetahuan manusia, ilmu terntu muncul yang khusus meneliti dan mengkaji aspek sejarah manusia. Lahirlah satu cabang ilmu sejarah.

Dalam catatan sejarah kita melihat bahwa pergolakan antara satu kelompok atau bangsa berusaha untuk mendominasi yang lain. Yang kuat dia yang menang. Sebaliknya yang lemah mereka harus dicoret dari sejarah. Pada akhirnya sejarah tak lain adalah cerita para pemenang. Kemajauan, Kemegahan atau kesejahteraan selalu didegung-dengungkan dan diceritakan kepada anak generasi penerus untuk dijadikan contoh bagaimana menajalani kehidupan masa depan. Tak jarang pada pase selanjutnya, ketika yang menang sejarah berubah. Yang kalah akan dibalik cerita faktanya, dan sebaliknya.

Kalau pada faktanya seperti itu, apakah ada kebenaran dalam sejarah. Dengan kata lain, apakaha cerita-cerita yang dimuat dalam buku sejarah adalah benar pada faktangya memang terjadi. Pada kenyataannya, adalah suatu hal yang tak dapat ditutup-tutupi bahwa kebenaran suatu peristiwa harus disumpat oleh para penguasa. Kematian adalah hal yang lumrah bagi setiap orang yang berusaha menguak kebenaran faktanya. Dengan asumsi bahwa ilmu penegtahuan adalah untuk merubah sejarah, maka apakah penelitian sejarah tak lain adalah upaya untuk merumuskan sejarah yang ingin ditegakan. Kebenaran fakta bukanlah sebagai tujuan tetapi kepentinganlah yang jadi alasan. Pada akhirnya, kita juga bisa bertanya, apakah pantas dijadikan landasan kehidupan. Yang dimaksud adalah bisakah sejarah salah satu bahan bagi umat manusia untuk merencanakan masa mendatang. Meminjam istilah agama, sejarah dijadikan ibrat'.

Kenapa ini harus dipertanyakan, sebab pada paktanya klaim-klaim yang menyatakan bahwa hal-hal agung itu ada dan bukan hasil kreatifitas manusia, tapi ada sesuatu di luar diri manusia yang menciptakannya, entah itu tuhan dalam teologi atau ada dengan sendirinya dalam paham materialisme dan naturalisme, senantiasa ada keterlibatan manusia di dalamnya. Kalau manusia adalah subjek dalam itu semua, maka apakah itu semua adalah hasil manusia itu sendiri.

Tak tahu harus menjawab apa. Hanyalah entah dan bagaimana yang aku punya. Aku kemudian berpikir bahwa jangan-jangan sebenarnya kita sedang mengarungi kehidupan hanya dengan bermodalkan satu kata, “entah”, meminjam istilah Gunawan Muhammad.