Mentalitas [Hyper Kronis]

Rabu, 19 Desember 2007

BUKU apa yang kalian kunyah hari ini? Atau tulisan siapa yang hendak dicumbu detik ini; atau teory apa yang merangsak masuk otak kalian saat ini? Ah...tentunya kalian sibuk bergelut dengan rentetan pertanyaaan. tsirt merek apa yang akan kaupakai; lipstik warna apa yang hendak membius para lelaki; atau siapa lagi yang jadi korban libido esok lusa. Carpe Diem sebatas nyanyian transendental, murka sapere aude Kant sebatas gantungan kunci.
“Barang siapa yang tidak bisa geometri dilarang masuk” tertera di balik gerbang masuk Akademia Plato. Pukul 09:00 gembok yang merantai perpustakaan mulai dilepas, perpus konon lumbung khazanah intelektual; seperti di Alexandria; persimpangan embrio filsuf agung abad pertengahan; , city of God-nya Thomas Aquinas, Romeo and Juliet-nya Shakespeare, Hikmah al-Isyraq-nya Suhrawardi, atau Tawasin-nya Al-hallaj, disambung dengan Discourse and Method-nya Rene Descartes, Thus Spoke Zarathustra-nya Nietzsche, hingga Sein Und Zeit-nya Heidegger. Saking berjubelnya warisan itu hingga tak ada satu pun terpampang pada deretan rak buku, begitu sesaknya oleh tumpukan fragmen dakwah kapitalisme rongsokan, komunikasi emansipatoris kerdil, theologi insklusive penjila[tain].

Sedang apa Mahasiswa? apakah kalian merasa resah dan muak menatap kuantitas dan kualitas diperpustakaan kita? Pastinya kalian bisu atau tuli, karena perpus hanya sekedar media penyaluran birahi; sebatas tumbal tugas dosen; bahkan mencari korban libido selanjutnya; atau untuk cari tongkrongan baru. Pernahkah kalian mendengar Alegori Gua Socrates, Logica Aristoteles, Metafisika Sir.M.Iqbal, teori dekontruksi Derrida, atau Tuhan telah Mati Nietzsche. Pasti kalian tak mengenalinya! telinga kalian tersumbat kitab suci MP4, hobi mentransportasikan birahi dalam madat al-wujud, dan menstimulus otak dengan nyanyian oral. Kalian lebih suka berdialektika dengan sinetron, men[sintesis]kan pertandingan Arsenal versus Persib, berkelana menggagas epistemologi kadut.
Apa yang didapat selama berwisata di ruang perpus? sekedar mencatat romantisme holocoust; hanya sekedar asketis bacot, menghapal teori relativisme absurd, atau memahami ontologi simbol sexualitas, terlebih hanyut dalam tragedi ekshibisionis bercampur seonggok tinja di otak kalian. “Pantes loba mahasiswa nuso pinter” padahal isi nya hanya tabula rasa. Retorika kalian memban[tai] sejarah yang dibanggakan, galilah liang lahat sebelum Zarathustra bangkit dari kubur dan memenggal kepala kalian masing-masing. Bersiaplah!? Atau kalian lebih asik masuk neraka penindasan birokrat tak berprikemanu[sia]an, atau kalian sendiri yang enggan mengaku sebagai manusia? ah..begitu pendiam kalian. Sampai-sampai kalianpun ogah merubah rutinitas jadi pengemis nilai. Mau jadi apa ketika waktu dihabiskan hanya ngabudah dihadapan jelangkung; otak koclak “sing era kanu jadi kolot, lain kuliahteh dibiayaan kukolot?” lain kitu!
Deretan buku nampak berjajar, dari yang berjudul Filsafat, Ekonomi, Syariah, Ilmu Hadits, Fiqh, Dan teory dialektika huntu, teory komunikasi plus-plus, hingga cara cepat menjadi PNS, jalan pintas menjadi Dosen, konsep korupsi secara syariah, dan kiat-kiat melanggengkan tahta kerajaan meski tanpa kualifikasi dan otak kosong “pantas banyak dosen/asdos yang kualitasnya dibawah standar” kamaqolaa Darwinisne “barang siapa yang kantongnya tebal atau punya akses politik Ia bisa naik takhta sekalipun otaknya koclak. Dan barang siapa yang tidak punya duit dan tidak ada akses politik, meskipun otak kaya Einstain jangan mimpi”. Bayangkan, miniatur Universitas yang tenggelam dalam manipulasi haus kekuasaan, apa yang akan terjadi?
Mahasiswa dijadikan kerdil, selalu membanggakan ketololannya. Ulah siapa? A[pakah adannya konspirasi para suhu pemegang saham, mereka ingin membumihanguskan setiap militansi. Dan apakah karena mahasiswanya enggan keluar dari lingkaran setan, terlalu nyaman dengan sihir para petinggi, atau mahasiswa terbius oleh romantisme nihilistik gaya Faraoh, atau nyambat Dyonisius dibalik tragedinya, bisa jadi terlena oleh kisah skenario telenovela jurig.
Tak lupa, pagi buat kasir penjaga museum. Apakah bapak-ibu miris melihat manuskrip banyak yang raib; jadi menu utama tikus; lapuk dimakan zaman alias bulukan; jauh dari kata layak, layaknya manuskrip-mu berasal dari abad pra-barang bekas. Apakah sudah tidak ada lagi common sense yang punya mata untuk melihat, dan intuitif dalam meratapi pemandangan yang mengerikan ini? Lantas apa yang jadi kesibukan bapak-ibu? Pastinya para bapak-ibu hanyut dalam rutinitas ngerumpi; asik ber-ekstase ritual asketis main game; berdzikir a-la info[tai]ment gosipisme. Yang pasti “makan ga makan asal ngumpul”.
Kiamat sudah hampir dekat neng, akang, father dan mother!? Konon tanda-tandanya sudah nampak; lenyapnya kitab suci pegangan para pupuhu adat dan Filsuf; pemimpin yang nyeleweng; mahasiswa sudah muak menyentuh buku; ketika atas nama kebenaran kau agungkan ke-egoan komunalisme dan menganggap sesat pada jenis-mu. Apologi huntu selalu berdendang pada sebaris kausa peng-ti[ada] Creati[ive] ex Nihillo.
Nyantai aja lagi!?. Tak ada yang mengusik! Biarkanlah kami yang membangunkan dari ketidaksadaran akan realitas yang hyper kronis stadium [no limits], kalian terlalu asik beronani gaya rektorat. Sekedar gumam yang kami baca dikumpulan ensiklopedi apatis museum kalian. Terima kasih atas manuskripnya yang langka tidak kami dapatkan di perpustakaan manapun, apakah kalian masih saja tertidur atas kebobrokan institusi yang kalian kultuskan.
Buat para mahasiswa yang masih duduk santai dipembaringan, atau sedang ciuman dengan selingkuhannya, bahkan sedang masturbasi dengan play station, atau yang hobi wiridan SMS. “Requeim Aeternam Deo” melesap dalam banalitas hidup. Pantha Rei hujat Heraclitos.


Ruang senyap.
Desember, 18th’2007[adzan Subuh
Read more!