MEN[ZIARAH]I TUHAN

Rabu, 27 Mei 2009



AKU hanya mampu berjalan dengan tertatih-tatih. Tanpa menyandarkan diri pada laku common sense. aku masih bisa terus melangkah menapaki arah pada ketidakberarahan. Siang itu, dengan suara parau dan serak aku berteriak layaknya sigila—Nietzsche yang mewartakan kematian sang Kholiq (tuhan) pada kerumunan orang di institusi yang bernama IAIN; Gott isn tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn gototet—“Tuhan telah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya”
Bukankah kita sudah sama-sama mengsabdakan kematian tuhan dan menyanyikan lagu kaddish—doa untuk orang mati, moga arwahnya tetap tenang, dan terbebas dari segala kutukan atas laku yang diperbuatnya meng-Ada. Amin. Konsep gestalt bergemuruh diruang tapal batas kebenaran-nihilistik. Kita terlanjur mengamininya dalam penjara banalitas dan kita larut dalam keseharian sehingga lupa akan kebenaran—kemeng-adaan kita sebagai manusia. Yang kita agungkan adalah Kebenaran yang berlaku diatas platform moncong kotak suara. ”semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi”
Tidakkah kalian dengar, aku yang berlari pada kerumunan orang sambil menenteng pelita yang kunyalakan di siang hari dan takhenti-hentinya berteriak dengan isak suara yang parau; aku mencari Tuhan? Aku mencari Tuhan!. Seketika aku dikerumuni orang banyak ketika mereka mengaku percaya pada Tuhan, aku mengundang banyak gelak tawa, “apakah dia ini adalah orang gila yang hilang?, Tanya seorang tua berjanggut dan celananya sedikit ngatung yang katanya tokoh spiritual. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Apakah dia baru saja mengadakan pengembaraan? Apakah dia seorang yang teracuni nalar? Demikianlah mereka saling bertanya sinis dalam gelak tawa.
Aku lalu melompat dan menyusup ketengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. ‘mana Tuhan?, aku bertanya. ‘aku hendak berkata pada kalian. Kita telah membunuh Tuhan—kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Lalu kemana bumi ini akan bergerak? Menjauhi seluruh matahari? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Kebelakang, kesamping, kedepan, kesemua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakah kita menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Bukankah malam terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada siang hari lenterapun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!.
Bagaimanakah kita—pembunuh para pembunuh—merasa terhibur? Dia yang maha kudus dan maha kuasa yang dimiliki dunia kini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita siapkan yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Dengan ritual tobat apa, pertunjukan kudus apa yang harus kita adakan?
Sampai disini, lalu aku terdiam dan kembali memandang para pendengar; merekapun diam membisu dan dengan penuh keheran-heranan melototiku. Akhirnya kubuang pelitaku ketanah dan pelita itu hancur, kemudian padam. ‘ aku datang terlalu awal’ atau ‘aku datang sudah terlalu terlambat’. Dalam gejala kebingungan dan nampak tercenung meninggalkan sosok khalayak ramai. Aku berjalan menuju makam Tuhan. Dan Masjid adalah tempat peristirahatan Tuhan karena nisan Tuhan kekal terpatri dalam kubah-kubahnya. Lalu aku berbisik pada jemaah yang sedang melakukan ritual sholat “ kalian telah melakukan ritual kematian Tuhan” —Requiem Aeternam Deo; semoga ia kekal dalam peristirahatannya.
Apakah kalian masih ber-Tuhan? Setidaknya menganggap ia sebagai sesuatu yang serba kuasa?
Mana Tuhanmu, sini biar saya tebas dengan golok!
Bukankah makna hidup adalah pemahaman mendasar tentang adanya sebuah “sosok” diatas sebuah rasio.




daspuy
—lelakidisimpangke[gila]an Read more!