RUTINITAS ~ AQIDAH FILSAFAT UIN SGD BANDUNG

RUTINITAS

Kamis, 29 November 2007

Malam terasa sunyi. Alunan lagu telah berhenti, mulai dari Fuck The Sistemnya-SOD sampai Naha Salah-nya Doel Sumbang. Jari-jari tangan menekan aneka hurup membentuk kata. Kata merangkai dengan kata menjadi kalimat. Kalimat saling menyusun menjadi bahasa. Bahasa demikian kita menyebutnya adalah media dimana jiwa dunia menjadi tak bernyawa. Tapi dengannya makna bukan lah hanya rasa. Ia adalah suara, bunyi, tanda bagi manusia. Mungkin dengannya manusia bisa menghadapi, memahami menjalani hidup di dunia.
Scientific social Qura’ani, adalah sebagaian kata dari satu judul tulisan yang secara tiba-tiba mengingatkanku pada perjalanan selama ini mengeluti berbagai buku. Seperti tamu yang datang tak diundang sebersit gagasan terlintas di kepala.
Sudah lama kertas kuning tipis itu berada di atas tempat tidur. Sering terlihat tapi tak pernah bermakna lebih selain sebagai sebuah buku yang membuat kamar tidur “pabalatak”berantakan dan aut-autan. Membuat kasur tak dapat dipakai merebahkan badan, tidur. Menjadikan suasana ruangan tak nyaman. Membuat pemandangan tak sedap dilihat.

Tapi saat itu alangkah berbeda sekali. Tak jelas apanya yang beda. Ketika bukunya masih itu juga, ketika matanya masih ini juga, ketika ruangannya bertempat di situ juga, bahkan mungkin ketika letaknya masih seperti itu juga, segala sesuatunya menjadi lain.
Itulah barangkali yang disebut dengan ketersingkapan. Sebuah hal berbeda yang sama sekali muncul dari sasuatu yang masih itu-itu juga. Itu juga barangkali yang disebut perubahan makna. Buku tipis yang asalnya bermakna sebagai sesuatu yang hanya sebagai setumpuk kertas bertuliskan Scientific social Qura’ani berubah menjadi sesuatu yang membuat aku ingat dan kemudian punya keinginan besar untuk diperjuangkan. Bahkan aku menjadi tahu juga dengannya apa yang menjadi orientasiku ke depan dalam belajar.
Asburditas, itulah istilah yang aku ingat ketika berkaitan dengan apa yang dialami saat ini. Rutinitas adalah sebuah kenyataan yang memenjarakan manusia dari kesadaran akan pluralitas makna hidup di dunia. Sebuah jebakan sehingga manusia tak dapat memahami hidupnya di dunia secara utuh. Adalah tak aneh kalau bahwasanya dalam hal berikut situasinya yang berbeda kita mempunyai makna lain, kesadaran lain dan perasaan yang lain. Tapi dalam rutinitas tak semua di antara kita bisa memaknai dan menyadari satu hal dengan situasinya dan kondisinya yang berbeda sebagai sesuatu yang lain, sehingga kesadaran dan maknanya juga lain. Padahal hidup, dalam hal yang di isinya, dalam waktu yang direngganya, dalam ruang yang ditempatnya,sesutu senantiasa akan terus menjadi yang lain. Sesuatu senantiasa baru, kata mas Gun.
Tapi apakah setiap orang bisa keluar dari rutinitas seperti itu. Jawabannya adalah ya dan tidak. Bagi seseorang ya, dan bagi yang lain mungkin tidak. Barangkali rutinitas yang seperti itulah yang dimasudkan Camus sebagai absurditas. Sebuah perjalanan hidup ketika mengalami dan menjalani hal yang sama tetapi tidak mendapat makna yang berbeda.
Karena rutinias sendiri adalah suatu keniscayan dalam hidup maka sia-sialah kita berkeinginan untuk mengelak darinya. Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah menyelaminya. Kita hidup didalamnya dengan sebuah sikap untuk senatiasa sadar dan membuka diri terhadap apa yang hadir di dalamnya. Kita senantiasa terjaga dengan tidak membiarkan mata batin tertutup sehingga yang beda akan kelihatan beda walaupun itu mutlak dalam hal yang sama. Karena Sesuatu itu adalah beda maka yang sama-sama sebanaranya hanyalah anggapan kita yang sudah mendarah daging ketika menganggap sesuatu yang sama adalah sebagai sama. Padahal sekali lagi bahwa yang sama itu adalah beda. Tak ada yang sama. Semuanya adalah beda.
Keluar dari absurditas bagiku adalah hidup dalam rutinitas dengan makna, kesadaran, jiwa dan diri yang berbeda. Saya adalah saya, yang dari sejak dilahirkan sampai sekarang adalah sesuatu yang berbeda, walaupun tak jarang pada saat tertentu serasa diri ini adalah itu-itu juga. Saya adalah saya yang sekarang, bukan saya dulu apalagi yang akan datang.

Sancang, 02-05-07