SANG TAK TERDEFENISIKAN DAN SI YANG SELALU INGIN BERTANYA ~ AQIDAH FILSAFAT UIN SGD BANDUNG

SANG TAK TERDEFENISIKAN DAN SI YANG SELALU INGIN BERTANYA

Kamis, 29 November 2007

TUHAN rasanya adalah suatu kata yang sulit didefenisikan, dengan rangkaian kata-katanya, lewat bahasa. Mungkin, halnya kata cinta, sulit sekali menerangkannya lewat jasa penalaran logika. Terlalu rahasia untuk dibuka lewat bantuan observasi fakta. Walaupun sulit, tapi anehnya, ia masih diimani manusia. Konon, manusia lebih percaya kepada ada-Nya ketimbang akan hidupnya di dunia. Aku sendiri pun begitu sangat merasakan betapa dekat kehadirannya di tengah luasnya alam semesta ketika aku sedang semendalam meragukan-Nya, atau bahkan menolak-Nya.
Mungkin, pembicaraan akan keberadaannya sama dengan usia manusia. Semenjak ia ada di alam semesta sampai sekarang, ketika manusia sudah mampu keluar dari bumi yang didiaminya.

Ketika Tuhan menjadi titik sentral kehidupan, kita pun sebagai manusia yang salah satu ciri utamanya adalah hasrat ingin tahu acapkali bertanya dalam hati nurani, sejauh manakah kepercayaan kita kepada-Nya. Atas alasan apa kita masih mempercayai-Nya? Mungkinkah hidup tanpa tuhan? Kalau ia ada, sebenarnya apakah Ia itu? Apakah benar kita diciptakan oleh-Nya, yang menurut ajaran Islam bahannya berasal dari Tanah, di mana manusia yang pertama adalah Adam kemudian Hawa sebagai pasangannya?
Konon katanya, Tuhan adalah satu-satunya yang “ada”, selain ia tidak ada. Lalu dengan kekuasaannya, ia menciptakan alam semesta, entah apa tujuannya. Kemudian setelah itu ia menciptakan manusia sebagai penghuni dan sekaligus sebagai pemimpin atas semua makhluk yang ada di dalamnya. Konon juga, hanya dalam enam hari Tuhan menciptakan alam semesta dengan sangat rapih dan teratur. Ia berkata bahwa tak ada satupun ciptaan-Nya yang sia-sia, dari hal kecil hingga hal besar di luar jangkuan manusia.
Para theolog yang seringkali diposisikan sebagai penyambung lidah Tuhan mengatakan bahwa manusia sebagai wakilnya adalah seorang hamba yang mempunyai kewajiban untuk mentaathinya dalam setiap denyutan nadi dan hembusan nafas. Lalu kita pun bertanya apakah mungkin manusia sebagai mahluk dengan kemampuan daya ciptanya yang dahsyat, dimana baru-baru ini bentuk bayi pun bisa diatur semenjak dalam kandungan ibunya hanya sebagai budak belaka. Kalau benar Tuhan adalah maha kuasa lalu untuk apa aku berbakti kepadanya, tokh dia mampu melakukan segala hal, dia tidak membutuhkan apapun. Dimanakan posisi kemampuan manusia disamping-Nya. Bingung harus menjawabnya.
Apakah sampai sekarang harus tetap begini? Tidak tahu, tidak ada jaminan juga bahwa jawaban yang ada sekarang pun betul-betul benar.
Banyak para saintis dengan ketakjubannya atas alam semesta memberikan argumen atas keberadaan tuhan. Tapi itu semua adalah apologi-apologi belaka yang tidak berdasarkan fakta, walaupun mereka berbicara fakta. Benar kita tahu bahwa api panas berdasarkan pengalaman. Tapi pengalaman kita pun tak menunjukan bahwa apa yang menyebabkan api panas ada karena tuhan. Begitu juga penalaran logika telah banyak membetulkan keberadaan tuhan dengan alasan-alasan yang rasional. Tapi yang ironisnya, peneguhan pun sama imbangnya dengan penolakan. Apa yang dihasilkan akal tidak menjamin diyakini oleh semua orang atau sesuai dengan faktanya. Makin bingung. Adakah sesuatu yang sangat kuat untuk dijadikan pijakan dasar bagi kepercayaan kita kepada Tuhan sekarang?
Ini akan semakin menarik dam semakin membingungkan ketika kita membicarakannya dengan mengunakan wacana ilmu-ilmu kontemporer yang ada. Namun, tokh tanpa wacana itupun nada dan iramanya tetap sama. Antara ada-tidak, percaya-tidak, kuat-tidak. Dan akhirnya,keduanya hanyalah interpretasi-interpretasi spekulatif belaka.
Yang jelas, bagi kalangan tertentu,aku misalnya tanpa adanya kepercayaan kepada tuhan sebagai tempat berawal dan berakhir tak akan dapat hidup. Kalaupun bisa hidup terasa kosong.
Mungkin untuk bertuhan tidak akan pernah membutuhkan alasan.
Saya tidak tahu apakah tidak mungkin benar juga apa yang dikatakan teman. Kira-kira seperti ini;Kita beragama karena mungkin saja nanti sesudah mati surga itu ada. Neraka itu nyata.

Sancang, 27 September 2005