BETAPA MEMUAKKAN ~ AQIDAH FILSAFAT UIN SGD BANDUNG

BETAPA MEMUAKKAN

Kamis, 29 November 2007

Di samping jalan, berdiri sebuah warung yang hampir menyerupai toko. Halaman depannya hampir berbatasan dengan trotoar. Tak jelas barang khusus apa yang dijual karena sebanarnya tempat itu selain bukan kawasan untuk jualan ada begitu banyak barang, sangat beraneka ragam. Ketaraturan tempat bukan sebuah permasalahan. Dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini segala hal menjadi lumrah, seolah-olah tidak salah. Asalkan ada tempat untuk menyimpan barang, maka itu pun boleh lah. Yang terpenting adalah bagaimana bisa menyambung hidup. Soal tata letak ataupun seabrek aturan lainya yang ditetapkan oleh perda setempat adalah hal yang tak harus diutamakan. Melanggar atau tidak bukan lagi menjadi persoalan. Lebih mustahil lagi kalau mempertimbangankan kenyaman pengguna jalan. Tak tampak secara jelas siapa yang benar dan siapa yang harus disalahkan.

Pada suatu ketika, karena tidak ada uang receh untuk membayar ongkos angkot, aku membeli sebungkus kopi di sebuah toko di jalan Soekarno Hata. Dengan harapan agar ada uang receh untuk membayar ongkos angkot dengan uang pas. Mengapa membeli sambil menukarkan receh, karena aku berpikir bahwa kalau bukan uang pas biasanya sang supir suka menarip harga seenaknya. Akibatnya uang kembalianya seenak dewenya. Akan lebih baik kalau dibelikan kopi dari pada dimakan orang lain, sementara dalam hati sendiri tidak rela.

Dasar lacur, apa yang terjadi, harga kopi yang biasanya paling mahal 600-,/bks, di toko tersebut dijual seharga 750-, perbungkus. Karena membelinya dua bungkus, jumlah totalnya menjadi 1.750-,. Kalau dipersentasekan penjual tersebut mendapatkan untung sebesar 50% , kalau dari harga asalnya sekitar 500-,. Padahal di beberapa toko lain harga perbungkus bisa lebih murah dengan harga Rp. 500-. Aslinya, di agen paling-paling seharga Rp. 400-.
Akhirnya, aku betapa kecewa dan sebalnya terhadap orang yang anjing itu. Dasar orang goblok, dasar orang bodoh, dasar manusia binatang, dasar..dasar...dasar!. Tapi, sebentar kemudian, aku berpikir, buat apa kesal, toh itu sudah terjadi. Kalau disesalkan malahan hati akan semakin sakit, bukannya membaik,pikirku terbersit. Aku berapologi, walaupun dalam hati, untuk mengobati rasa sakit.

Sebenarnya, kalau dipikirkan kembali ternyata dari kejadian tersebut ada banyak pelajaran yang bermakna. Dalam situasi pahit sekarang ini, orang bisa saja tak peduli apa yang dilakukannya. Apakah hal tersebut merugikan orang lain atau tidak. Baginya, tindakan apa saja boleh. Standar baik dan buruk tidak lagi diperhitungkan, apakah dampaknya terhadap diri sendiri atau bagi orang lain. Yang penting adalah bagiku,,, bagiku dan bagiku. Hanya bagiku.

Dalam sebuah Negara yang sedang dililit kesusahan, Indonesia misalnya, kejahatan dalam berbagai bentuknya adalah hal yang lumrah terjadi dalam apa saja dan dimana-mana. Ditambah, kondisi mental yang buruk serta kesadaran yang dangkal akibat pembodohan dan pembiusan media, kondisi kehidupan seolah-olah tak pernah jauh dari peradaban.

Pada sisi lain, pikiran negativeku terhadap sang supir adalah pertanda betapa kepercayaan hari ini menjadi suatu hal yang asing dan langka.Oh, betapa muaknya kondisi sekarang ini!

Oh syetan dan iblis, bukan dirimu yang membuat manusia berbuat kehinaan yang melebihi bintang [kalau diasumsikan bahwa bintang adalah makhluk rendah]. Tapi, manusialah yang menciptakan kalian. Kitalah manusia yang menciptakan syetan dan iblis. Atau kitalah yang memaksa syetan dan iblis untuk menggoda untuk berbuat tidak manusiawi.

Kitalah, aku dan kalian semuanya yang telah dengan sengaja atau tidak telah mengisi kehidupan ini penuh dengan kebokbrokan. Maaf kami, oh wahai syetan dan iblis yang telah memfitnah kalian sebagai sumber dan penebar kejahatan di alam semesta yang luas nan indah ini. Sebenarsnya kamilah yang melakukan itu semua. Tapi kami tak sadar. Sekali lagi maafkan.