TUHAN DALAM PENCARIAN MANUSIA ~ AQIDAH FILSAFAT UIN SGD BANDUNG

TUHAN DALAM PENCARIAN MANUSIA

Kamis, 29 November 2007

Pergeseran Pemikiran Manusia Tentang Tuhan
Dalam membahas tuhan terdapat dua term yang harus dibedakan. Pertama, tuhan sebagai idea, gagasan atau pemikiran manusia tentang tuhan. Kedua, tuhan dalam pengertian dirinya sendiri yang tidak diketahui oleh umat manusia. Tuhan dalam pengertian pertama adalah hasil produk imajinasi penalaran seseorang yang didasarkan pada kenyataan alam semesta sejauh yang mampu ia pahami mengenai tuhan. Mereka memberikan istilah yang bermacam-macam, antara lain manna, dewa, tuhan atau allah. Tuhan dalam pengertian kedua adalah tuhan sebagai dzat-Nya sendiri. Ia terlepas dengan seluruh dimensi manusiawi. Dipersepsi atau tidak ia tetap tuhan dan hanyalah dia yang tahu akan dirinya.

Awal mula adanya pemikiran mengenai tuhan dapat dirunut kebelakang sejak pertama kali manusia dapat berpikir. Secara umum, pemikiran tentang tuhan bermula dari konsepsi yang sangat sederhana samapai pada konsepsi yang sangat komplek dimana tuhan telah dipahami sangat abstrak. Dari pemahaman zaman kuno sampai dewasa ini abad kontemporer. Tahap-tahap ini tidak harus selamanya dipahami dalam pengertian periode zaman, tetapi akan lebih tepat kalau dipahami dalam pengertian taraf pemikiran umat manusia. Dewasa ini di daerah-daerah tertentu walaupun abad kontemporer masih ada kelompok yang masih bertuhan secara primitif. Corak pemahaman tentang tuhan lebih banyak ditentukan pada kemajuan pemikiran seseorang dalam zaman tertentu. Karena taraf berpikirnya sudah maju bisa jadi seseorang yang hidup ribuan tahun sebelum kita, memiliki konsepsi ketuhanan yang lebih abstrak dan rumit sebagaimana tuhan yang dipahami sekarang.
Pergeseran pemikiran tentang ketuhanan melewati tiga tahap; animist, dinamist dan monoteist. Tahap Monoteist terbagi pada deis, theis dan pholyteis.
Pada tahap animist manusia memahami tuhan sebagai kekuatan yang bersemayam dibalik benda-benda, umpamanya tuhan adalah kekuatan yang ada dibalik lautan. Mereka menyebutnya dengan istilah manna. Pada tahap ini manusia sudah dapat merasakan akan kekuatan diluar dirinya akan tetapi ia belum mampu mengkonsepsikan dalam bentuk tertentu. Tuhan dalam tahap ini adalah tuhan sebagai sebuah konsepsi yang kabur. Pada tahap dinamist, umat manusia sudah dapat memberikan suatu penafsiran seperti apa tuhan itu. mereka sudah dapat membuat symbol-simbol. Pada tahap ini tuhan sudah dipahami sebagai suatu kekuatan yang ada dalam benda-benda tertentu, umpanya dewi kesuburan dalam padi. Pada tahap ini tuhan tidak hanya satu tetapi banyak. Setiap tuhan memiliki kekhususan kekuatan tertentu, misalnya tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan dalam paham zoroaster. Selain tuhan bersifat banyak, paham ketuhanan dalam tahap ini berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan yang lain. Konsepsi tuhan dalam daerah tertentu akan berbeda dengan daerah lain. Dalam perkembangan selanjutnya, suatu masyarakat menyatukan tuhan dalam suatu khirarkhi ketuhanan dengan adanya satu tuhan yang tertinggi. Paham ketuhanan semacam ini dapat kita temukan dalam system keprcayaan yunani kuno. Zeus adalah tuhan tertinggi yang dibawahnya terdapat tuhan-tuhan yang memiliki tugas-tugas tertentu. Atau dalam ajaran agama Hindu yang menjelaskan bahwa tuhan tertinggi adalah tuhan atau dewa Rama. pada tahap terakhir, tahap monoteis tuhan telah dipahami dalam konsep yang sangat abstrak. Tuhan adalah sesuatu yang menciptakan alam semesta. ia tidak dapat diumpakan dalam simboil-simbol tertentu ia juga melampaui manusia. Ia adalah satu, maha sempurna dan tak terbatas. Adanya tak tergantung pada keberadaan manusia.
Tuhan pada tahap monoteis dipahami dalam tiga bentuk: pertama, dalam pemahaman deisme. Dalam paham ini tuhan adalah adalah pencipta dan tidak mengatur alam semesta. Seluruh peristiwa yang terjadi di dunia ditentukan oleh hukum alam sebagai suatu aturan yang tuhan ciptakan bersamaan dengan alam. Dalam kehidupan sekarang tuhan tidak pernah ikut campur. Kedua, dalam pemahaman teisme. Teisme mengajarkan bahwa tuhan adalah pencipta dan pengatur alam semesta. Tuhan hadir dalam kehidupan di dunia. Tak ada sesuatu pun yang terlepas dari kekuasaannya. Manusia tergantung pada tuhan. Dengan kata lain teisme adalah kebalikan dari deisme. Ketiga. Dalam paham pholyteisme. Dalam paham ini tuhan bukan sesuatu yang berada dibalik alam semesta. Akan tetapi tuhan adalah alam semsesta itu sendiri, tuhan adalah alam dan alam adalah tuhan. Alam dalam pengertian sebagai sebuah keseluruhan bukan sebagai bahagian sehingga dapat disimbolkan dalam bentuk tertentu, misalnya patung atau berhala dalam kepercayaan arab kuno atau jahiliah.
Walaupun dari tahap animis sampai monoteis tuhan telah mengalami pergeseran pemaknaan, ada satu benang merah yang dapat ditarik sebagai konsepsi umum yang terdapat pada masing masing paham, yaitu tuhan adalah realitas tertinggi. Realitas tertinggi akan selalu dipahami berbeda-beda tergantung manusia yang mengkonsepsikan-Nya dengan konteks sosial yang membentuk. Mungkin system ajaran ketuhanan dimasa yang akan akan lebih komplek, rumit dan sangat abstrak. Yang jelas gagasan tentang tuhan akan senantiasa ada terus mengalami perubahan, sejauh manusia mempercayainya. Tuhan pada dirinya hanyalah Ia yang tahu, Wallahu a’llam.

Motivasi Untuk Bertuhan
Terdapat berbagai analisa yang mecoba menjelaskan sehubungan dengan kecendrungan seseorang untuk mempercayai adanya realitas tertinggi yang pada umunya diistilahkan dengan tuhan. Analisa ini sesuai dengan kerangka pengetahuan ilmiah dewasa ini, yaitu paradigama positivistik lebih banyak didasarkan pada peilaku seseorang yang mempercayai-nya, khususnya dari perspektif ilmu psikologiy. Tidak bisa dinafikan bahwa konteks sosial masyarakat tertentu akan sangat berpengaruh pada motivasi seseorang dalam meyakini keberadaan tuhan dan pengkonsepsiaan-Nya.
Dalam pendekatan psikologis adanya harapan kebahagiaan dan rasa takut menjadi factor utama mengapa seseorang mempercayai tuhan. Ketika seseorang merasa takut pada suatu objek dari luar dirinya, ia cendrung untuk mencari dan berlindung pada suatu kekuatan yang lebih kuat dan kuasa dari sesuatu yang ia takuti. Karena tuhan adalah dzat yang maha kuasa dan sempurna sebagaimana diajarkan oleh setiap agama, maka seseorang menemukan perlindungan bagi dirinya dalam diri tuhan. Selain adanya ketakutan dari luar, bisa jadi seseorang mempercayai adanya tuhan karena ia takut akan mendapatkan siksaan yang menyedihkan di kehidupan mendatang bagi orang yang menolok tuhan (kafir) dan berbuat maksiat. Demikian juga, ketika seseorang dalam kehidupan di dunia banyak mengalami berbagai penderitaan sehingga kehidupan adalah siksaan dan kenistaan akan dapat memunculkan suatu harapan baru bahwa dibalik kehidupan dunia ini ada suatu dunia yang memberikan kebahagiaan mutlak, yaitu Syurga dalam ajaran Islam atau Syurga maniloka dalam tradisi wayang golek. Walaupun di dunia ini ada kebahagian yang terdapat dalam berbagai bentuk, seperti kekayaaan, kekuasaan dan perkawinan, namun semua itu adalah fana dan menifu. Dunia dengan pernik-pernik kehidupan baginya adalah ujian untuk mencapai kesempuranaan yang abadi.
Selain dua factor diatas, bagi kalangan tertentu, kebutuhan akan nilai-nilai spiritual telah mengakibatkan seseorang percaya pada adanya tuhan. Bisa jadi dari sisi ekonomi, ia adalah orang yang kaya raya atau memiliki kekuasaan yang sangat berpengaruh. Dengan kata lain, dalam kehidupan di dunia ia mendapatkan kebahagian yang sempurna. Akan tetapi, ia tetap merasa ada yang kurang dalam dirinya. Konon, dalam tradisi Islam ada seorang tokoh terkemuka sufi yang bernama Ibrahim bin Adham. Ia adalah saudagar kaya raya, berpengaruh, memiliki keimanan yang sangat tinggi dan tha’at dalam mengerjakan praktek-praktek keagamaan. Sekarang ini di beberapa negara maju sedang berkembang lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan bimgbingan spritual. Atau ada beberapa ilmuan yang beralih haluan dari dunia keilmuan yang empirik-rasional masuk dunia tarekat yang sarat dengan spritual dan mistik.

Argument Keberadaan Tuhan
Apakah benar bahwa untuk percaya kepada tuhan dibutuhkan argument. Jawaban atas pertanyaan ini bisa ya dan juga bisa tidak. Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita tidak membutuhkan alasan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Bahkan ada beberapa masalah ketika diberikan rasionalisasinya hal tersebut menjadi dangkal dan kabur. Dalam kehidupan sehari-hari juga ada beberapa tindakan yang harus diawali dengan alasan dan ada beberapa hal lain yang harus diawali dengan hanya ikhlas melaksanakan kemudian baru argumentasi yang jelas dan logis. Masalah tentang ketuhanan dan praktek keagamaan biasanya didasarkan pada hal-hal semacam ini.
Pada dasarnya argument penalaran dibutuhkan untuk memutuskan atau menghilangkan keraguan antara ya dan tidak. Suatu argument penalaran diperuntukan untuk keyakinan diri sendiri dan agar orang lain percaya. Sebetulnya, argument tentang keberadaan tuhan lebih banyak dimaksudkan agar orang lain percaya dan yakin bahwa tuhan itu betul-betul ada. Bagi orang-orang tertentu (khususnya orang yang memilki pengetahuan terbatas) untuk percaya kepada tuhan bisa saja hanya cukup mendengar bahwa tuhan itu ada, merasakan keberdaaannya dengan hati dan merasakan kemanfaatan atas berbagai dampak positif dari beberpa ajaran tertentu dalam sebuah agama, misalnya ibadah berderma.
Dalam kajian filsafat agama terdapat beberapa argumentasi untuk membuktikan adanya tuhan; argument ontologis, kosmologis, theleologis dan moral. Kelima argumentasi ini intinya hanya tiga argumentasi; argumentasi sebab-akibat, theleologis dan moral. Argumtasi ontologis dan kosmologis masuk dalam kategori dalil sebab-akibat karena mendasarkan penalarannya pada hukum sebab-akibat.
Argumentasi yang mendasarkan penalarannya pada hukum sebab-akibat pertama kali kemukan oleh Saint anselmust dan dikembangkan pada abad pertengangahan oleh S.T Thomas Aquinas dengan menggunakan cara berpikir Aristoteles. Dalam dunia muslim argumentasi semacam ini dikembangkan pula oleh al-Kindi, al-Farabi dan Ibn-Sina. Pada umumnya, mereka berpendapat bahwa adanya sesuatu pasti ada yang menjadi penyebabnya. Ada akibat pasti ada sebab. Adanya kehidupan menjadi bukti nyata akan adanya tuhan. Adanya gagasan tentang sesatu yang sempurna dalam setiap pemikiran umat manusia tentu ada dzat yang betul-betul ada sempurna yang menyebabkannya ada dalam setiap orang. tidak mungkin manusia yang tidak sempurna memiliki ide kesempurnan. Pasti dzat yang sempurnalah yang mengakibatkan kita memiliki idea kesempurnaan.
Argumentasi theleologis mendasarkan penalarannya pada keharmonian alam. Alam adalah suatu kenyataan yang tersusun secara sempurna. Ia ditata dengan rancangan yang sangat ketat, didasarkan atas hukum-hukum yang sangat pasti dan suatu perhitungan yang sangat tepat. Dengan demikian tata tertib dan kemajuan dalam alam menunjukan suatu akal dan maksud yang iamnent. Tujuan dari ketertiban alam semesta ini adalah rencana tuhan itu sendiri. Argumentasi moral lebih banyak disenangi orang karena penjelsannya langsung pada ranah psikologis. Alam telah membuat manusia takjub. Dan dengan perasaan inilah manusia akan mudah meyakini akan adanya tuhan sebagai seseuatu yang maha takjub.

Argument moral secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut; kalau pada manusia dalam dirinya sendiri ada perintah untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi keburukan yang pada pada dasarnya betul-betul timbul dari dorongan diri sendiri bukan hasil dari pengalaman maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang tahu akan baik dan buruk. Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Adanya nilai dalam setiap diri manusia mengandung arti adanya pencipta nilai. Dzat pencipta nilai inilah yang disebut dengan tuhan

Bantahan Dan Argument Kaum Atheis
Berangkat dari asumsi bahwa setiap penalaran selalu memiliki sisi-sisi untuk dikritik, argument tentang keberadaan tuhan memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat mengakibatkan gugurnya seluruh upaya pendasaran rasional atas keberadaan tuhan. Kelemahan-kelemahan itu adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam argumentasi-argumentasi yang mendasarkan pada hukum sebab-akibat terdapat dua kelemahan. Pertama, hukum sebab-akibat adalah suatu hukum yang hanya didasarkan pada kepercayaan belaka, animall paith. Hukum sebab-akibat bukan suatu hukum yang didasarkan pada fakta bahwa satu benda menjadi sebab bagi perubahan benda lain. Betul bahwa tangan terasa panas setelah api menyentuh, tapi bukan api yang menyentuh tangan akan mengakibatkan tangan menjadi panas. Yang terjadi sebenarnya hanyalah kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain. Kedekatan tersebut kemudian diidentikan dengan suatu keyakinan bahwa satu peristiwa mengakibatrkan perubahan pada peristiwa lain. Kedua, kalau seandainya hukum sebab-akibat adalah benar, pertanyayaannya adalah apa alasan bahwa sebab terakhir itu adalah tuhan. Bisa saja kita menginterpretasikan bahwa sebab terakhir dari materi adalah materi, bukan selain materi. Dengan demikian pernyatan bahwa sebab terakhir dari materi adalah tuhan adalah penyimpulan yang terlalu dipaksakan karena menafikan konklusi-konklusi lain.
Kedua, dalam argumentasi moral sebagaimana dikemukakan oleh Imanuel kant, norma-norma moral tidak harus menunjukan akan adanya tuhan. Kant mengatkan bahwa eksistensi tuhan adalah postulat dari kehidupan moral; yakni tuhan harus ada jika tata moral harus dipahami. Selain kritik kant sendiri, kritik lain yang muncul adalah seumpamanya nilai-nilai moral itu diakui, nilai-nilai tersebut dapat dijelaskan dengan kebutuhan dan kemauan-kemauan manusia atau dengan susunan watak manusia dan masyarakat.
Ketiga, dalam argumentsi theleologis ada dua kritikan yang sangat tajam. Pertama, bukankah dalam alam semseta ini ada kejahatan. Kedua, apa alasan bahwa keteraturan alam itu mengharuskan adanya pencipta yang sangat teliti sehingga terciptanya alam semesta yang sangat tertata secara rapih. Bisa saja alam tercipta dari suatu materi yang sekaligus mengandung hukum-hukum di dalamnya, salah satunya adalah harmonisasi.

Jawaban Otoritatif: Iman
Dari argumentasi serta bantahan-bantahan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa penolakan akan adanya tuhan sama kuatnya dengan argumentasi yang menyatakan adanya tuhan. Bahkan penolakan akan adanya tuhan lebih kuat dari pernyatana adanya tuhan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah keberadaan tuhan dapat dibuktikan dengan akal atau tidak. Kalau tidak, lantas apakah semua yang tidak dapat dipertangguh jawabkan secara rasional itu mengindentikan bahwa pernyataan adanya tuhan adalah bohong belaka. Dengan kata lain tuhan itu tidak ada karena tidak ada alasan raional yang dapat membuktikan.
Terlepas dari apakah akal dapat membuktikan adanya tuhan atau tidak, bagi kalangan yang mempercayai adanya tuhan iman adalah solusi yang tepat untuk mempertahankan akan adanya tuhan. Iman pada awalnya diterima secara dogmatic tanpa alasan apapun, taken for oriented. Iman adalah fondasi dasar bagi seseorang untuk mempercayai adanya tuhan. Akan tetapi iman saja tidak cukup karena iman perlu penghayatan dan pemaknaan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian iman butuh rasionalisasi untuk dapat dipahami apa sesungguhnya iman kepada tuhan itu.


DAFTAR FUSTAKA
Karen Armstrong; Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung
Helmi Umam; Dance Of God, Aviron, Jogjakarta
Harun Nasution; Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta
Lois.O. Kattosof; Pengantar Filsafat., Tiara Wacana, Jogjakarta
Harold. H. Titus, Marylin S. Smith dan Ricard T. Nolan; Living Issues In Philosophy, terjemahan H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta