JEJAK-JEJAK KHIANAT ~ AQIDAH FILSAFAT UIN SGD BANDUNG

JEJAK-JEJAK KHIANAT

Senin, 01 Oktober 2007

Arinie Harfadinie

Dalam untaian sepi dan bimbang yang kian menjadi-jadi, telah kutemukan kedunguanmu. Kusambut seramah rumah tunggu. Lebar-lebar kubukakan untuknya arti kehadiran. Aku sebijak nafsuku. Tak peduli pada rindu! Aku sebijak nafsuku. Persetan dengan manjamu! Maaf, dunia kalian begitu kejam wahai lelaki! Tak banyak perempuan mempertanyakan kalian. Itu mungkin karena kelelakian memang kedok ketakutan. Lelaki bersembunyi dan menyembunyikan lembutnya pada seonggak kulit kasar dan embel-embel herois.

Aku tak tahu kenapa aku harus meninggalkanmu. Tapi aku juga tak punya alasan untuk tetap mempertahankan apa yang sudah terbina. Aku bukan perempuan sabar dan aku takkkan bisa menerima tawaranmu untuk kembali belajar sabar pada guru tersabar. Sudahlah, mari berdamai dengan kenyataan dan jangan salahkan keadaan! Sudahlah, lupakan rencana-rencana cinta kita yang kau susupkan ke dalam puisi-puisimu! Aku tak tega menyiksamu terlalu lama. Jangan kejar aku atau berharap aku datang lagi! Buka matamu, kenanglah burukku! Kencangkan telingamu, ingat selalu sisi muakku! Aku bukan aku yang kau kenal dulu!

Aku sedang butuh teman. Tapi bukan teman yang bisanya makan teman. Aku korban keganasan filsafat yang bejat. Saksi atas kebrutalan tanya yang tak terkendali. Sering makan hati dan mulai benci diri sendiri. Pernah aku berniat bunuh diri. Tapi tuhan punya cara yang selalu tak terduga dan aku dibiarkannya untuk menggagalkan niatku. Untung tak ada yang tahu, jadi tak perlu malu.

Yang paling menarik dariku sebagai seorang perempuan adalah wajahku. Selanjutnya postur tubuh yang dulu katamu selalu bikin tegang urat rindu dan senyum yang diciptakan dua bibir rekahku yang tak pernah berkenalan dengan produk-produk pemalsu keindahan. Tapi aku tahu kalau cinta atas dasar ukuran dada dan atas lihai pinggul saja, bukanlah cinta! Beruntung aku pernah punya kekasih yang selalu menomersekiankan tampilan fisik yang kelak jadi makanan ulat-ulat kubur. Tapi aku kurang beruntung mendapatkan kekasih yang bisanya cuma bikin puisi. Bukan karena tak menghargai hobinya meramu desah, tapi orang-orang yang sudah melampaui batas, sebaiknya belajar menghargai orang-orang yang belum.

Dulu aku perempuan paling bahagia. Paling merasa diwanitakan dan paling punya cara untuk mensyukuri anugerah cinta. Laki-laki itu sebenarnya sama sekali ngga’ sama dengan konsep-konsepku tentang laki-laki dalam benakkku. Ngga’ atletis. Ngga’ romantis. Ngga’ berkepribadian. Miskin. Jelek. Seram dan ngga’ seIman. Tapi kemampuannya dalam menipuku, sempat membuatku terkapar. Berkali-kali aku kuwalahan menghadapi rayuan maut dan nakal bibirnya. Berkali-kali juga aku tak bisa menolaknya. Laki-laki itu telah memperkosa jilbabku. Kemana aku mesti melapor dan minta perlindungan hukum? Bukankah di mata hukum, cinta tak pernah dimaktubkan dalam pasal-pasal kekeliruan? Bukankah laki-laki itu cuma bertindak kurang ajar dengan jilbabku saja dan akupun ikut menikmatinya? Bukankah kalau itu memang dosa, itulah dosa termanis? Bukankah kalau itu memang salah, Tere juga bilang kalau itu adalah salah terindah? Dalam situasi seperti ini, tampaknya hanya diri sendiri sajalah yang bisa dijadikan sandaran dan meja pengaduan sesalku. Aku siap mempertanggunngjawabkan kemarin, hari ini dan esokku.

Entahlah! Aku tak punya pilihan selain menghindar dari belenggu cintanya. Itu bukan karena aku sudah tak cinta. Melainkan karena aku memang seorang pengkhinat yang sejak lahir hobby menyakiti laki-laki. Ya, kuakui itu! Kalian tahu apa dan dimana nikmatnya menyakiti hati laki-laki, wahai perempuan? Sini mendekat dan akan kubisikkan sesuatu yang baru kucuri dari altar cinta!

Cinta itu barang murah. Bisa diobral semau kalian kok. Jangan berdramatisir! Jangan berpikir yang tidak-tidak dan sok suci lagi mensucikannya! Cinta itu bukan bagian terpenting yang mesti dipentingkan sedemikian penting. Bukan judul besar ketertundukan manusia pada rahasia-rahasia yang tak pernah bisa dipahaminya. Perempuan, kalian jangan bodoh! Buat apa bermain dengan nyala yang dijamin mampu membakar kelembutan dan garis takdir sendiri? Buat apa menyimpan mimpi tentang putri yang diselamatkan pahlawan bertopeng ganteng. Jangan pusingkan sangka dan menghabiskan tenaga hanya untuk membedakan topeng dan raut muka musuh di balik topeng.

Perempuan, sudah ngga’ zamannya aku dan kalian mempertanyakan arti bahagia dan kelumit ngalah untuk menang. Kalau kalian tak nyaman dalam peluknya, lari saja! Cari ganti dan jangan bicara tentang etika lagi! Ingat, jumlah kalian sudah semakin banyak. Itu artinya, saingan dan persaingan makin memperjelas kenyataan! Tunda dulu kesetiaan! Raup keuntungan dan kumpulkan keuntungan dari laki-laki yang ingin kalian jadikan santapan makan malam. Masalahnya, kalau tak menyantap, maka kalian pasti akan disantap!

Perempuan, laki-laki mau mabuk atau tidak mabuk dua-duanya pecundang! Buktinya, dunia yang sedang kita tempati ini adalah dunia mereka! Adalah klise yang menyakitkan jika aku kembali bilang bahwa sejak semula perempuan itu memang masyarakat terpinggir yang hadirnya hanya untuk menyempurnakan kelelakian saja! Kita cuma diminta bikin anak dan dipandang sebagai mesin pencetak dan pemuas! Lalu, apa arti kebermaknaan kalau begitu?

Kita mesti jahat. Kita mesti jadi pengkhianat. Kita mesti tanggalkan senyum untuk mendapatkan hak kita lagi. Jangan menunggu hujan turun saat orang punya payung dan bisa berteduh di bawah atap gedung. Omong kosong kalau perempuan mesti diam dan bersahaja dalam kelembutan! Omong kosong kalau kita serahkan keperawanan kita hanya untuk membuktikan dan mengiyakan pesan-pesan cinta! Maaf, Kontak kelamin adalah murni urusan libido dan kemasuk doa biologis! Karena itulah aku berpesan ; Jangan sok suci! Sebab yang sok, biasanya memang tak suci! Nikmati saja! Bahkan bukankah penderitaan takkan menghasilkan apa-apa selain desah dan keinginan kita untuk minta tambah dan dikerjai lagi?

Perempuan, kalian jangan lemah dan melemahkan diri lagi! Berkhianatlah! Jadilah pengkhianat yang paling bejat dan hadiahi laki-laki itu sekuntum laknat! Terbanglah dari satu pelukan ke pelukan lain! Eh maaf, maksudku dari satu dompet ke dompet lain. Atau kalau mereka tak punya dompet, hapalkan saja nomor rekening atau nomor PIN Atm mereka! Telanjangi isi kantong mereka sebelum mereka sadar akan perbuatan mereka saat dan setelah kita ditelanjangi! Manjakan diri kalian di atas kejayaan dan lipatan rupiah mereka. Perbudak mereka dan suruh mereka menjadi pelayan yang baik dan selalu stand by kapanpun kalian butuh tenaga mereka. Minimalnya, jadikan mereka supir antar jeput. Ya, ini memang analog yang mesti kalian panjangkan tafsir dan ta’wilnya. Kalian tak boleh picik dan licik!

Ach… aku cuma mau bilang kalau aku baru saja menawarkan sisi lain di balik hingar bingar jerit waktu. Sebagai perempuan, aku berhasil dan wajar menepuk dada saat menyakiti laki-lakiku. Yang paling bisa kubanggakan, aku sakiti mereka dengan senjata mereka sendiri. Caranya gampang kok, adu domba dan bikin mereka cemburu atau setidaknya menyesal pernah mengenal kita. Pakai laki-laki lain untuk mengusir mereka dari kehidupan cinta yang terekayasa dalam langkah cengeng mereka!
Halalkan segala cara untuk memperjuangkan apa yang mesti diperjuangkan!
Perempuan, bergabunglah bersamaku dan mari merapatkan barisan dan berjuang untuk selamanya tidak pasrah mendapat shaf di belakang! Acuhkan dosa dan sakit hati mereka! Sebab kalau tak begini, kita yang akan terus tersiksa! Sudah lama dan aku bukan orang pertama yang mengajak kalian untuk belajar berontak dan mencoba bangun dari rela panjang kita. Atas nama dendam dan sakit hati, silahkan menjual apa yang bisa kita jual. Gadaikan apa yang memang layak digadaikan! Sekali lagi, bergabunglah dan jangan pernah berjuang sendiri-sendiri!

Perempuan, sudahi tetek bengek kebingungan dan ketidakmengertian kalian! Hidup dan dunia lebih dari sekedar untuk dimengerti. Dunia kita, ya, dunia kita bukan dunia yang mesti mengabaikan bingung dan bukan juga dunia yang mengedepankan pengertian. Dan akupun hampir tak mengerti sedang apa aku hari ini dengan tulisan seperti ini. Tapi aku sadar bahwa aku yang menulisnya dan pengalamanku yang memaksaku untuk tetap menulisnya. Kita terlalu muda untuk terus bercanda. Tapi kita juga terkadang mesti melampaui usia kita sendiri. Doaku akan selalu menyertai kalian, wahai perempuan-perempuan yang bingung karena tak pernah kebingungan! Sayup dan samar sebilah jaga di ruas tanya membahana ;

Idza waqoatil Waqiah
Laisa liwak’atiha Kadzibah
Khafidhatu-r-Rafi’ah


Timoer Bandung,
September 05